Contoh Artikel


Pengaruh Himbauan ‘#DirumahAja’ Terhadap Masyarakat Ekonomi Kelas Bawah

Banyak orang meyakini bahwa penyebaran virus corona pertama kali terjadi pada akhir  tahun 2019 ketika seseorang terjangkit virus corona dari hewan yang diperdagangkan dipasar seafood Huanan, Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China. (https://www.kompas.com/tren/read/2020/04/09/061000865/benarkah-virus-corona-penyebab-covid-19-berasal-dari-pasar-wuhan diakses pada hari Sabtu, 11 April 2020 pukul 08:05 WIB).

Kejadian ini terus berkembang hingga saat ini dan menjadi tragedi yang memilukan ditambah dengan pernyataan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melalui rilis yang dikeluarkan pada hari Rabu, 11 Maret 2020 yang menyatakan bahwa wabah virus Corona dianggap sebagai pandemi dengan harapan negara – negara lain dapat lebih agresif dalam mengambil tindakan pencegahan dan perawatan. (https://www.halodoc.com/who-resmi-nyatakan-corona-sebagai-pandemi diakses pada hari Sabtu, 11 April 2020 pada pukul 08:14 WIB).

Virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) adalah virus yang menyerang sistem pernapasan. Penyakit karena infeksi ini disebut COVID-19. Virus ini dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pneumonia akut hingga kematian. Virus Corona atau Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS-CoV-2) atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan virus Corona adalah jenis baru dari Coronavirus yang menular ke manusia. Virus ini bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin maupun kondisi tubuh. Adapun gejala awal infeksi virus Corona atau COVID-19 bisa berupa gejala flu, seperti demam, pilek, batuk kering, sakit tenggorokan dan sakit kepala. (https://www.alodokter.com/virus-corona diakses pada hari Sabtu, 11 April 2020 pada pukul 09:10 WIB).

Di Indonesia hingga saat ini tercatat lebih dari 3.800 orang yang terkonfirmasi mengalami infeksi virus Corona (sumber: Kawalcovid19.id per-tanggal 11 April 2020) dan diprediksi masih akan terus bertambah. Menanggapi wabah pandemi ini, Pemerintah Indonesia menggunakan konsep karantina wilayah (Lockdown) dan menghimbau masyarakat untuk tetap tinggal dirumah dengan trending istilah ’#DirumahAja’ serta menerapkan istilah ‘physical distancing’ (semula istilahnya ‘social distancing’ tapi dianggap kurang tepat karena bukan membatasi hubungan sosial antarsesama) agar menjaga jarak fisik  satu sama lain. Harapannya dengan adanya kebijakan ini dapat memutus mata rantai penularan virus Corona di Indonesia. (https://tirto.id/pemerintah-ubah-istilah-social-distancing-jadi-physical-distancing-eG8j diakses pada hari Sabtu, 11 April 2020 pada pukul 09:36 WIB).

Kebijakan karantina wilayah (lockdown) dan himbauan untuk tetap tinggal didalam rumah (#DirumahAja) oleh pemerintah tidak sepenuhnya diterima positif oleh seluruh kalangan masyarakat terutama masyarakat kalangan ekonomi kelas bawah. Mengapa demikian? sebagai contoh misalnya seorang tukang ojek online sehari – hari memperoleh pendapatan melalui seberapa banyak penumpang yang telah diantar jemput pulang pergi ataupun pedagang kaki lima yang memperoleh penghasilan dari seberapa banyak dagangan yang laku terjual.

Sebelum adanya kebijakan lockdown dan tetap tinggal dirumah (#DirumahAja), tukang ojek online tidak pernah khawatir terhadap masalah ada tidaknya penumpang yang memesan ojek begitu pula dengan para pedagang kaki lima yang tidak khawatir ada tidaknya pembeli. Tetapi, setelah adanya kebijakan tersebut, tukang ojek online kesulitan untuk memperoleh penumpang dan pedagang kaki lima juga kesulitan menjual dagangannya karena masyarakat lebih banyak menghabiskan waktu didalam rumah ketimbang diluar rumah.

Ditambah lagi himbauan untuk tetap tinggal didalam rumah membuat tukang ojek online maupun pedagang kaki lima kebingungan harus mengikuti himbauan tersebut untuk tetap tinggal didalam rumah atau tetap bekerja karena mata pencarian satu – satunya hanya dari pekerjaan tersebut. Pertentangan ini dilakukan bukan sebagai tindakan tidak patuh terhadap pemerintah tetapi keharusan untuk bekerja membuat masyarakat kalangan ekonomi kelas bawah terpaksa untuk tetap beraktivitas diluar rumah demi kehidupan sehari – hari, karena apabila tidak bekerja maka tidak makan dan munculah cuitan ‘tinggal dirumah tidak makan, tetap bekerja tertular Virus Corona, daripada mati karena kelaparan lebih baik tetap bekerja mencari makan’.

Lain hal  misalnya Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sehari – hari bekerja dikantor lalu kemudian muncul himbauan untuk tetap tinggal dirumah sehingga PNS yang semula bekerja dikantor sekarang harus bekerja dari rumah. Hal tersebut justru diterima dengan sangat positif oleh PNS karena tidak perlu bersusah – susah lagi untuk berangkat ke kantor. ditambah lagi PNS tidak perlu kebingungan untuk masalah ‘makan’ karena walaupun bekerja dari rumah, gaji PNS tetap dibayar sesuai dengan ketentuan.

Menanggapi keluhan masyarakat tersebut, Pemerintah Indonesia berupaya memberikan Bantuan Lansung Tunai (BLT) kepada masyarakat kurang mampu yang terdampak pandemi virus Corona atau COVID-19 di luar wilayah Jabodetabek. (https://www.liputan6.com/bisnis/read/4223802/9-juta-warga-di-luar-jabodetabek-akan-terima-bantuan-tunai-rp-600-ribu diakses pada hari Sabtu, 11 April 2020 pada pukul 20:16 WIB).

Kemudian menjadi sebuah pertanyaan kembali, bagaimanakah sistem pemberian bantuan tersebut? Apakah nantinya dapat menjangkau seluruh kalangan masyarakat kelas bawah? lalu, apakah keuangan Negara mampu untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tersebut mengingat utang Negara yang sudah hampir mencapai 5.000 Triliun Rupiah?

Jika kita bercermin dengan Negara lain yang ekonomi negaranya sudah cukup maju, tentunya pemberian Bantuan Lansung Tunai (BLT) kepada masyarakat bukan merupakan hal yang sulit dan rumit. Tetapi lain hal dengan keadaan Negara Indonesia saat ini, dengan kondisi ekonomi Negara yang masih tergolong berkembang ditambah lagi akibat wabah pandemi ini yang menyebabkan sektor ekonomi Negara semakin melemah.

Seperti yang kita tahu juga, pusat perekonomian Indonesia sendiri lebih banyak berpusat di DKI Jakarta yaitu sebesar 17 persen. Apabila pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta melambat, maka pertumbuhan ekonomi juga ikut melambat. Ditambah lagi saat ini wilayah DKI Jakarta sedang menerapkan kebijakan Lockdown. (https://metro.tempo.co/read/1139563/bi-dki-jakarta-sumbang-17-persen-perekonomian-indonesia/full&view=ok diakses pada hari Sabtu, 11 April 2020 pada pukul 20:28 WIB).

Lalu bagaimana Pemerintah Indonesia harus bertindak menanggapi keluhan masyarakat kelas bawah tanpa membebankan ekonomi negara? Seharusnya peran aktif masyarakat sangat dibutuhkan dalam menanggapi hal ini. Penerapan kebijakan ‘Physical Distancing’ hanya membatasi jarak fisik tetapi bukan berarti membatasi hubungan sosial antarsesama. Masyarakat harus saling membantu satu sama lain dalam mengatasi masalah ini dan dalam menghadapi wabah pandemi virus Corona. Masyarakat Indonesia harus bersatu, mengesampingkan ‘ego’ dan kepentingan pribadi, serta mengedepankan sikap gotong royong yang merupakan budaya asli Bangsa Indonesia yang tidak dimiliki Negara lain sehingga kita mampu menghadapi wabah pandemi  ini. Selain itu, pemerintah perlu memikirkan lebih lanjut kebijakan yang harus dibuat agar tidak muncul permasalahan lain akibat kebijakan tersebut, karena kebijakan itu sendiri merupakan buah pikiran yang bijak dalam menanggapi permasalahan.



(NB: Artikel ini hanya sekedar karangan penulis, tidak ada unsur apapun yang memberatkan pihak lain dan masih perlu dikaji kembali, hanya sekedar sharing wawasan dan melatih kemampuan menulis)

Comments

Popular posts from this blog

hukum tata usaha negara : Ilmu, Lingkup dan Kajian

kumpulan soal CAT TKD CPNS

makalah kepemimpinan nasional