makalah kepemimpinan nasional

KEPEMIMPINAN NASIONAL
Abstrak
Sedemikian luas wilayahnya dan beragam budaya serta
agama, Indonesia membutuhkan sosok pemimpin yang mampu memberdayakan rakyatnya
dan memiliki wawasan kebangsaan yang luas. Dalam suasana social – politik
seperti sekarang ini, bangsa Indonesia sangat memerlukan sosok seorang presiden
yang mirip seorang kapten basket yang berperan sebagai play – maker dalam
menentukan keberhasilan permainan.
Peran seorang kapten basket sebagai play – maker
tentunya harus mampu mengarahkan dan membimbing rekan satu timnya dalam
mencapai target kemenangan. Tetapi, perlu diingat sehebat apapun seorang kapten
sebagai play – maker jika kualitas rekan satu kurang memadai maka pola
permainan dan serangan dalam mencapai target kemenangan akan kurang maksimal.
Maka daripada itu, dibutuhkan sebuah team – work dan solidaritas sebuah tim
untuk mencapai sebuah hasil yang maksimal.
Bangsa Indonesia memerlukan seorang Presiden yang
mampu bertindak sebagai play – maker dalam menentukan kebijakan dan arah
pemerintahan Indonesia sehingga sila kelima dalam Pancasila dapat terwujud
secara maksimal di Indonesia.
Dikenal sebagai sosok solidarity maker dan nation
builder, bangsa Indonesia pernah memiliki seorang Presiden Soekarno yang pernah
jaya pada masanya. Lalu dilanjutkan oleh pak Harto yang dijuluki sebagai Bapak
Pembangunan dan dikenal pula sebagai market builder. Mengusung jargon dan
agenda baru demokratisasi yang dilakukan oleh Pak Habibie, Gus Dur, Megawati,
Pak SBY dan Pak Jokowi.
Suatu kepemimpinan jika dianalogikan sebagai sebuah
tim tentunya harus memperhatikan bagaimana menyusun suatu team – work secara
handal. Hal ini sangat diperlukan agar antara individual yang satu dengan yang
lain atau antara lembaga yang satu dengan lembaga yang lain dapat bersinergi
dan mampu menjalin kerja sama tim yang baik sebagai satu – kesatuan. Maka oleh
sebab itu diperlukannya presiden layaknya seorang konduktor dalam orchestra
music yang artinya bahwa seorang presiden tidak harus mengetahui secara detil
persoalan bangsa tetapi cukup dengan mampu memimpin dan membimbing bangsanya
saja.
Seorang pemimpin haruslah memiliki moral dan visi
yang jelas, mampu menggerakkan anggota – anggotanya dan tentunya harus mampu
menginspirasi dan menggerakkan rakyatnya. Yang paling penting seorang pemimpin
harus memiliki wibawa moral yang ditopang dengan wawasan yang luas dan mendasar
mengenai permasalahan bangsanya serta harus mampu mengambil keputusan secara
bijaksana, tegas dan tepat.
Dalam sejarah perkembangan bangsa Indonesia, banyak
tokoh karena kekuatan ide dan gagasannya serta keteladanannya dalam mencintai
dan melayani rakyat yang selalu diceritakan dari generasi ke generasi walaupun
sudah meninggal atau telah tiada, namun pengaruhnya masih bertahan dan tetap
melekat bahkan di hati bangsanya. Sosok seorang pemimpin di era informasi ini
yang sukses dan di cintai rakyatnya di sebuah Negara akan mengundang simpati
dan pengikut dari Negara lain.
Begitu juga sebaliknya, jika ada sosok pemimpin yang
dibenci dan dijatuhkan rakyatnya maka akan cepat tersebar beritanya keseluruh
dunia dan akan menerima kecaman dari bangsa lain secara global. Jadi, di era
informasi dan arus globalisasi ini, kepemimpinan nasional tidak hanya menjadi
isu local dan nasional saja, tetapi juga diikuti dan menjadi perhatian juga
oleh masyarakat dunia.
A. Sistem
Kepemimpinan Nasional
Menurut
Prof. Dr. Mustopadidjaja, bahwa Kepemimpinan Nasional diartikan sebagai Sistem
Kepemimpinan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa,
meliputi berbagai unsur dan srtuktur kelembagaan yang berkembang dalam
kehidupan Pemerintahan negara dan masyarakat, yang berperan mengemban misi
perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bangsa sesuai dengan posisi
masing-masing dalam Pemerintahan dan masyarakat, mernurut niali-nilai
kebangsaan dan perjuangan yang diamanatkan konstitusi negara.
Secara structural, dalam
upaya mewujudkan cita – cita dan tujuan bernegara, pemimpin lembaga – lembaga
yang berkembang dalam masyarakat yang secara fungsional berperan dan
berkewajiban memimpin orang, anggota, serata lembaga yang dipimpinnya dimana
Kepemimpinan Nasional itu terdiri dari pejabat lembaga – lembaga pemerintahan
Negara yang mengemban tugas Negara.
Menurut
Anwar Ibarahim, bahwa kepemimpinan haruslah peka dan prihatin terhadap suara
dan aspirasi rakyat serta merumuskan cara pendekatan yang melibatkan rakyat.
Beliau menekankan pada konsep Syura’ (musyawarah) dan demokrasi penyetaraan.
Berdasarkan pendapat
Anwar Ibrahim, Pemimpin Nasional adalah sosok seorang yang mau mendengarkan
aspirasi dari rakyat dan peka dalam memahami kebutuhan rakyatnya secara
keseluruhan dan menghayati nilai – nilai yang berlaku. Seorang Pemimpin bangsa
haruslah memiliki kemampuan memberi inspirasi kepada bangsanya dan mempunyai
visi yang sesuai dengan cita – cita dan tujuan bangsanya.
B. Konsep
Kepemimpinan di Indonesia
Kepemimpinan
di Indonesia
pada dasarnya adalah kepemimpinan yang berlandaskan pada nilai-nilai
pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia (Kepemimpinan Pancasila).
1. Konsep Kepemimpinan Nasional
dalam Tantangan Global
Pengertian
kepemimpinan nasional pada prinsipnya tidak jauh berbeda dari pengertian
kepemimpinan pada umumnya, yang berbeda hanya pada luas dan cakupan dan
landasan serta prioritas yang dimilikinya. Dari berbagai sumber dan literatur,
kepemimpinan (Harold Koontz dan Cyrill O’Donnel; Joseph L. Massie dan
John Douglas) dapat didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan melaui sebuah hubungan yang
memungkinkan secara ikhlas untuk bekerja sama dengan sarana komunikasi (George
R. Terry) dan terjadi dalam situasi yang diharapkan kemampuan untuk memecahkan
permasalahan dalam kelompok (Henry Pratt Fairchild)
Sementara ini
kepemimpinan nasional adalah kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata
kehidupan nasional didalam setiap gatra (Asta Gatra) pada bidang/ sektor
profesi baik di supra struktur, infra struktur dan sub struktur, formal dan
informal yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/ mengerahkan
kehidupan nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperhatikan dan memahami
perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam
memanfaatkan peluang.
Kualitas Kepemimpinan
Nasional yang baik sangat diperlukan dalam lingkungan strategis yang berubah
dengan cepat. Dalam mencapai tujuan nasional melalui tahapan – tahapan
pembangunan yang terprogram, terarah dan berkelanjutan dapat diwujudkan dengan
kualitas Kepemimpinan Nasional yang baik. Karena bukanlah merupakan proses yang
sederhana, terbentuknya Kepemimpinan Nasional perlu adanya penyiapan Sumber
Daya Manusia yang akan dikaderkan menjadi pemimpin di eranya bagi masa depan
bangsa dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945, serta yang akan memikul lansung tanggung jawab strategis
di lingkungan Negara, bangsa, dan masyarakat dalam mengemban tugas dan
pengabdian bagi bangsa Indonesia.
Rendahnya daya saing
bangsa merupakan tantangan global paling utama yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia saat ini terkait dengan ketahanan Nasional. Pada level bangsa,
korporasi, perusahaan, komunitas, ataupun individu, teknologi akan menjadi
penggerak perubahan yang paling utama dalam menghadapi arus sejarah pada abad
ke – 21 ini. Dalam pertanian, industry, perdagangan, keuangan, pendidikan,
kesehatan, pertahanan, atau jasa terlihat adanya porsi teknologi yang semakin
besar digunakan dalam PDB Negara –
Negara berkembang. Dengan kata lain, penguasaan teknologi sangat mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi dan daya saing sebuah bangsa karena teknologi menjadi
sumber bagi tumbuhnya knowledge capital
suatu bangsa.
Proses pengembangan
teknologi tidak akan pernah berhenti dikarenakan kecenderungan ini akan terus
menguat. Disisi lain, beberapa tahun terakhir, anggaran pengembangan teknologi
di Indonesia justru semakin menurun.
2. Landasan Kepemimpinan Nasional
Dalam membangun bangsa
Indonesia, perlu terus – menerus dilakukannya pembaharuan pemahaman dan
kesepakatan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Visi bangsa
Indonesia jangka menengah dan jangka panjang tersebut memadukan kesepakatan
ini. Rencana Jangka Panjang Nasional dalam Undang – Undang Nomor 17 tahun 2007
yang telah menetapkan arah bangsa Indonesia dalam jangka panjang mulai dari
tahun 2005 – 2025. Dalam hal ini, Keserasian di masing – masing Daerah maupun
Nasional harus terbentuk dalam proses penyusunan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah. Dengan demikian, secara efektif dan saling menunjang strategi dan
pelaksanaan pembangunan Indonesia yang inklusif dapat segera terlaksana.
Sasaran pembangunan yang telah ditetapkan dapat dicapai keberhasilannya dengan
peran Kepemimpinan Nasional untuk mengarahkan pembangunan Nasional ini sebagai
kunci kesuksesannya pencapaiannya.
Kepemimpinan Nasional
yang baik dapat dibentuk dengan dasar Wawasan Kebangsaan para pemimpin Nasional
yang tertuang dalam pemahaman terhadap empat pilar berbangsa dan bernegara (Pancasila,
UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI). Untuk menata kehidupan berbangsa dan
bernegara, dalam pendekatan teori Kepemimpinan Nasional cara pandang dan
konsepsi berpikir adalah melalui wawasan nusantara dan ketahanan nasional. Agar
terhindar dari sikap ego kedaerahan, mencari prestise dan menikmati nikmatnya
jadi pemimpin, setiap pemimpin di semua level haruslah memiliki pemahaman dan
penghayatan yang sama tentang hal ini sebagaimana diamanatkan presiden terutama
tataran kebijakan dan operasional. Penyelarasan pengembangan IPTEK di berbagai
level dapat dilakukan dengan dasar Visi, persepsi dan interpretasi, keserasian,
keseimbangan dan rasa memiliki serta bertanggungjawab. Dengan diilhami visi
pada konsepsi Ketahanan Nasional melalui pemahaman wawasan nusantara dengan
baik dan benar serta meletakan penjabaran kepentingan nasional diatas segalanya
akan terlihat implementasi kepemimpinan yang mempunyai wawasan kebangsaan dan
ketahanan nasional.
3. Peran Kepemimpinan Nasional
dalam Kebijakan Teknologi
Bukan hanya pemerintah
saja, seluruh dukungan dan komitmen komponen bangsa sangat diperlukan dalam
penguasaan dan pemanfaatan serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
nasional. Kelompok para peneliti baik dari lembaga penelitian pemerintah,
swasta dan yang ada ditengah masyarakat merupakan kekuatan dari ilmu
pengetahuan dan teknologi karena tidak terletak pada masing – masing individu.
Dalam mendorong kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, pemerintah mempunyai
kewajiban dalam mengarahkan dan memfasilitasinya. Kepercayaan masyarakat
terhadap hasil yang diraih bangsa dapat ditumbuhkembangkan dengan kebijakan
serta fasilitas lembaga penelitian yang memadai sebagai arah dan fasilitas yang
didukung oleh pemerintah. Dalam kontribusi ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
pertumbuhan ekonomi serta meningkatkan kemampuan litbang nasional merupakan
orientasi dari pengembangan IPTEK. Brainware,
technoware, dan organoware merupakan penentu dalam pengembangan, penerapan
serta peningkatan IPTEK. Brainware yang
berarti sumber daya manusia yang handal merupakan penggerak dari semua komponen
tersebut yang memiliki kepedulian pada pertumbuhan dan daya saing bangsa
terutama dalam bidang IPTEK.
Agar teknologi dapat
berkembang sesuai dengan keunggulan setiap, maka perlu sebuah pendekatan dengan
memperhatikan perubahan lingkungan strategis yang ada dan mendukung kewaspadaan
nasional. Pentingnya peranan antara pemerintah baik pusat maupun daerah,
lembaga penelitian dan perguruan tinggi , serta kalangan dunia usaha sangat
dibutuhkan. Melalui aliansi strategis, dalam mendukung kewaspadaan nasional
dapat menerapkan integrasi ketiga elemen tersebut. Melalui dukungan dari
kepemimpinan nasional maka aliansi strategis tersebut dapat diwujudkan.
Masing – masing
organisasi secara independen membutuhkan suatu hubungan formal antara dua atau
lebih kelompok satu tujuan yang disepakati bersama ataupun memenuhi bisnis
kritis tertentu yang disebut dengan aliansi strategis. Untuk target yang sama,
namun memiliki kesamaan produk atau layanan yang ditujukan, aliansi strategis
peda umumnya terjadi pada rentang waktu tertentu dan pihak yang melakukan
aliansi bukanlah pesaing langsung. Melalui sebuah transaksi, maka pihak – pihak
yang terkait haruslah menghasilkan sesuatu yang lebih baik dengan telah
dilakukannya aliansi. Tujuan dimunculkannya sinergi dalam aliansi dapat
diwujudkan dengan terjadinya kooperasi atau kolaborasi. Transfer teknologi, resiko,
dan pendanaan dapat terjadi ketika setiap partner dapat saling berbagi
kemampuan dengan adanya aliansi.
Agar tujuan dapat
lebih efektif tercapai, dalam setiap pengambilan kebijakan di semua partner
yang melakukan aliansi dibutuhkan peran kepemimpinan nasional terutama terkait
dengan integrasi bangsa. Para pimpinan di semua level sangat perlu untuk
membangun pemahaman yang mendalam tentang nilai – nilai nasionalisme dalam
pengembangan teknologi di Indonesia yang akan menjadi pendorong bagi
pertumbuhan ekonomi untuk pengembangan dan pemanfaatan teknologi di Indonesia. Untuk
dapat menghasilkan peningkatan ekonomi secara signifikan ( Knowledge economy ), maka perlu diadakannya peningkatan kandungan
teknologi (technology content) dalam
setiap bidang pendukung kehidupan.
Sumber daya bangsa
Indonesia yang melimpah membutuhkan perananan dari pola kepemimpinan nasional
untuk dapat memanfaatkannya secara maksimal. Seperti yang diketahui, berada di
wilayah persimpangan alur lalu lintas internasional, bangsa Indonesia secara
geografis menempati wilayah yang tentunya memiliki peran penting untuk dapat
terlibat aktif yang dicirikan dengan meningkatnya ketergantungan antar satu
bangsa dengan bangsa lainnya dalam derap langkah pembangunan berskala global.
Ketika bangsa Indonesia mampu membangun kemandirian dalam banyak aspek termasuk
pengembangan dan pemajuan ilmu teknologi, tentunya hal tersebut dapat terjadi
dan bukan merupakan hal yang tidak mungkin untuk dapat diwujudkan. Berbicara
tentang kesalingtergantungan secara sejajar, bangsa Indonesia dapat mulai ikut
aktif berbincang dengan mengandalkan kemandirian tersebut. Suatu keniscayaan
bagi bangsa Indonesia untuk memberikan peran secara signifikan karena merupakan
bangsa yang letak geografis wilayahnya merupakan titik temu berbagai budaya dan
kepentingan antar bangsa dalam taraf pembangunan secara global. Dengan adanya
keuntungan posisi ini ( letak geografisnya ), peranan penting suatu
kepemimpinan nasional untuk mengeluarkan kebijakan keunggulan teknologi
berbasis internasional.
Disamping itu, dalam
pemanfaatan sumber daya alam agar dapt berkelanjutan, suatu kepemimpinan
nasional harus mampu mengintegrasikan berbagai kebijakan yang ada. Dalam
memenangkan persaingan secara global dapat dilakukan dengan memanfaatkan sumber
daya alam di Indonesia yang sangat melimpah secara maksimal yang merupakan
sumber dari kekuatan bangsa Indonesia. Bagi perkembangan ekonomi dan industry
dunia, Indonesia merupakan salah satu pasar potensial bagi dunia disamping
kondisi dan letak geografisnya tersebut.
Dalam lingkungan
nasional yang beraneka ragam ini untuk meningkatkan pengembangan IPTEK,
terdapat beberapa ciri kepemimpinan yang berkarakter untuk terbentuknya
kepemimpinan nasional yang baik. Dalam lingkungan yang kondusif, diperlukan
adanya pembiasaan melalui contoh keteladanan perilaku para elite politik yang
bergerak di eksekutif, yudikatif dan legislative dalam mengantarkan bangsa
Indonesia dari ketergantungan ( dependency ) menuju kemerdekaan ( independency
), selanjutnya menuju kontinum maturasi diri yang komplit ke saling
tergantungan ( interdependency ) melalui
aktualisasi karakter kepemimpinan yang diharapkan bangsa. Karakter yang
dibutuhkan adalah perilaku dan sifat – sifat sebagai berikut :
i.
Kesadaran diri sendiri (self awareness).
jujur terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain, jujur terhadap kekuatan
diri, kelemahan dan usaha yang tulus untuk memperbaikinya.
ii.
Pada dasarnya seseorang pemimpin cenderung memperlakukan orang
lain dalam organisasi atas dasar persamaan derajat tanpa harus menjilat keatas,
menyikut kesamping dan menindas ke bawah. Pemimpin perlu berempati terhadap
bawahannya secara tulus dan ikhlas.
iii.
Memiliki rasa ingin tahu dan dapat didekati sehingga orang lain
merasa aman dan nyaman dalam menyampaikan umpan balik dan gagasan-gagasan baru
secara jujur, lugas dan penuh rasa hormat kepada pemimpinnya.
iv.
Bersikap transparan dan mampu menghormati pesaing atau musuh,
dan belajar dari mereka dalam situasi kepemimpinan ataupun kondisi bisnis pada
umumnya.
v.
Memiliki kecerdasan, cermat dan tangguh sehingga mampu bekerja
secara professional keilmuan dalam mengenmban jabatannya, sehingga hasil
pekerjaannya berguna bagi dirinya, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
vi.
Memiliki rasa kehormatan diri (a sense of personal honour and
personal dignity) dan berdisiplin pribadi, sehingga mampu dan
mempunyai rasa tanggungjawab pribadi atas perilaku pribadinya. Tidak seperti
saat ini para pemimpin saling lempar ucapan pedas terhadap rekan sejawatnya
yang berbeda aliran politiknya.
vii.
Memiliki kemampuan berkomunikasi, semangat team work, kreatif, percaya diri, inovatif dan
mobilitas.
4. Kepemimpinan
menurut Pak Harto
Mantan
presiden Soeharto menjelaskan tentang asas kepemimpinan Hasta Brata (delapan
laku kepemimpinan). Delapan laku tersebut antara lain:
1. Lir
Surya (matahari)
Dengan
lambang ini diharapkan seorang pemimpin dapat berfungsi seperti matahari bagi
yang dipimpin. Dapat memberi semangat, memberi kekuatan dan daya hidup bagi
orang-orang yang dipimpinnya.
2. Lir
Candra (bulan)
Dengan
lambang ini seorang pemimpin hadaknya berfungsi sebagai bulan, yakni membuat
senang bagi anggotanya dan memberi terang pada waktu gelap. Ketika dalam
keadaan sulit, Sang pemimpin mampu tampil untuk memberi jalan terang atau jalan
keluar dari kesulitan.
3. Lir
Kartika (bintang)
Bintang
adalah sebagai pedoman bagi pelaut atau pengarung samudra. Dengan lambang ini
pemimpin handaknya berteguh iman takwa, memiliki teguh pendirian sehingga
menjadi pedoman dan panutan bagi rakyatnya yang mungkin kehilagan arah.
4. Lir
Samirana (angin)
Dengan
lambang ini, diharapkan seorang pemimpin bersifat seperti angin, teliti, tidak
mudah dihasut. Dia harus “manjing ajur ajer” bergaul dengan rakyat
lapisan manapun, guna mencari masukan untuk menetapakan kebijakan dan
keputusan.
5. Lir
Mega mendung (awan hujan)
Mendung
memberi kesan menakutkan, tapi apabila hujan turun akan bermanfaat bagi bumi.
Dengan lambang ini, pemimpin diharapkan dapat tampil berwibawa, namun keputusan
dan kebijakan yang diambilnya hemdaknya bermanfaat bagi yang dipimpinnya.
6. Lir
Dahana (api)
Dengan
lambang ini, diharapkan seorang pemimpin tegas dan keras seperti api dalam
menegakkan disiplin dan keadilan.
7. Lir
Samudra (laut atau samudra)
Dengan
lambang ini, diharapkan pemimpin berwawasan luas, sanggup menerima dan
mendengar persoalan, menyeringnya dan membuat suasana menjadi jernih kembali
tanpa ada rasa dendam.
8. Lir
Bantala (bumi)
Dengan
lambang ini, diharapkan pemimpin tidak hanya mau berada diatas, tetapi juga
bersedia dibawah. Sang pemimpin seolah-olah menjadi tempat pijakan, sentosa
budinya, jujur dan murah hati bagi anak buahnya.
C.
Konsep
Kepemimpinan Pancasila
a.
Menurut BP-7 Pusat
Berikut
disampaikan suatu pemikiran mengenai kepemimpinan yang selanjutnya diterapkan
di Indonesia:
·
Seorang pemimpin di
Indonesia hendaknya memiliki sikap dan perilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur
pancasila
·
Seorang pemimpin di
Indonesia adalah seorang yang mampu menanggapi kemajuan IPTEK dan kemajuan
zaman
·
Seorang pemimpin hendaknya
berwibawa, yakni timbulnya kepatuhan yang dipimpinnya, bukan karena katakutan,
tetapi karena kesadaran dan kerelaan
·
Seorang pemimpin
bertanggung jawab atas segala tindakan dan perbuatan yang dipimpinnya. Dengan
demikian, pemimpin benar-benar bersifat “ing ngarsa sung tulada, Ing
madya mangun karsa, Tut wuri handayani”.
b.
Menurut Kartini Kartono
Kartini
Kartono menjelaskan ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh
kepemimpinan, yaitu:
Ø Kepemimpinan
di Era pembangunan Nasioanal harus bersumber pada falsafah negara, yakni
pancasila
Ø Memahami
benar makna dari perencanaan, pelaksanaan, dan tujuan pembangunan yang ingin
dicapai
Ø Diharapkan
agar Kepemimpinan Pancasila mampu menggali intisari dari nilai-nilai
tradisional yang luhur, untuk kemudian dipadukan dengan nilai-nilai positif
dari modernisasi.
c.
Manurut Ary Murty
Menurut
Ary Murty, Kepemimpinan Pancasila adalah kepamimpinan yang berasas, berjiwa,
dan beramal pancasila. Sebagai keterpaduan antara penguasaan nilai-nilai luhur
yang berakar pada budaya Nusantara dengan penguasaan nilai-nilai kemajuan
universal.
Keterjalinan hidup
manusia dengan Tuhan, keserasian hidup antara sesama manusia serta lingkungan
alam, kerukunan dan mempertemukan cita – cita hidup di dunia dan akhirat
merupakan nilai – nilai dari budaya Nusantara.
Di segala aspek
kehidupan dalam rangka meningkatkan kemampuan dan ketangguhan bangsa,
mendayakan sains dan teknologi secara efektif dan efisien merupakan nilai –
nilai dari kemajuan universal.
d.
Menurut Wahjosumidjo
Menurut
Wahjosumidjo, Kepemimpinan Pancasila adalah bentuk kepemimpinan modern yang
selalu menyumberkan diri pada nilai-nilai dan norma-norma pancasila.
Dalam memberdayakan
segala daya sumber masyarakat dan lingkungan merupakan salah satu potensi atau
kekuatan dari kepemimpinan Pancasila yang dijiwai oleh sila – sila Pancasila
dalam mencapai tujuan dan cita – cita nasional.
Unsur “Rasionalitas” dan
“semangat kekeluargaan” ditonjolkan dalam kepemimpinan Pancasila karena
merupakan suatu perpaduan dari kepemimpinan yang bersifat universal dengan
kepemimpinan Indonesia.
Jadi,
ada tiga sumber pokok Kepemimpinan Pancasila, yaitu:
·
Pancasila, UUD 1945, dan
GBHN
·
Nilai-nilai kepemimpinan
universal
·
Nilai-nilai spiritual nenek
moyang.
D.
Sektor
Kepemimpinan Nasional
Hidup bersama dalam wilayah tertentu
seperti metropolis atau kota yang sebenarnya telah tumbuh adanya kesadaran
politik yang artinya kesadaran hidup dalam masyarakat “Politicos atau polis”
telah membuat sadar manusia akan perlunya hidup bersama dalam sebuah Negara
yang elemen sentralnya ada pada terbentuknya kehidupan kewarganegaraan. Dengan
adanya kewajiban dan hak setiap warga Negara yang diberikan oleh politik yang
dibina kemudian juga mendasari adanya kesadaran politik tersebut. Kedaulatan,
kekuasaan, otoritas dan legitimasi hukum maupun konstitusi juga mengusul muncul
sebagai istilah – istilah dasar politik.
Melalui cara demokratis dengan ketentuan
– ketentuan regulasi yang jelas dalam terbentuknya bangsa dan Negara yang telah
dibangun oleh rakyat secara bersama – sama, membutuhkan terselenggaranya
kepemimpinan nasional. Jumlah elit kepemimpinan tidaklah banyak, tetapi melalui
dasar dan izin yang diberikan rakyat sehingga mereka memiliki kekuasan dan
otoritas yang mereka pegang. Demokrasi yang diusahakan secara sehat berdasarkan
mekanismenya, merupakan suatu bangunan yang selanjutnya menjadi budaya politik
yang dijalankan dari waktu ke waktu.
Melalui perhitungan yang rasional dan
demokratis terhadap lintasan berjalannya fungsi politik sebuah Negara dan disertai
penyusunannya oleh masyarakat yang merupakan apresiasi terhadap hak – hak
pribadi. Semua manusia sebenarnya telah tertanam insting kemasyarakatan, hal ini pernah dibahas oleh Aristoteles dalam
bukunya “politik” dimana ia menyatakan insting tersebut terbentuk oleh alam
sendiri sehingga menghasilkan “Masyarakat Politik”.
Sementara itu, dalam proses politik,
seperangkat sikap dan keyakinan bahkan mungkin sentiment yang memberikan arti
dan pedoman terhadap budaya politik yang tumbuh dalam kehidupan demokrasi, dan
selanjutnya menjadi dasar atau landasan yang dikehendaki rakyat dalam mengatur
watak maupun system politik. Dalam membimbing kehidupan politik mereka sendiri,
budaya politik yang jelas sangat dibutuhkan dalam membentuk kesadaran politik
warga Negara.
Dengan adanya pemilihan umum, melalui
kehidupan tatanan demokrasi untuk memilih wakil – wakil rakyat yang selanjutnya
akan diserahi urusan penyelenggaraan pemerintahan Negara, sehingga kebutuhan
masyarakat dalam berbangsa dan bernegara dapat terpenuhi dengan baik karena tertatanya
semua bidang kehidupan yang diperlukan. Dengan penyelenggaraannya yang
dilakukan secara berskala dan merupakan proses sebuah demokrasi yang tidak bisa
diabaikan, akhirnya membuat pemilihan umum menjadi sebuah tradisi demokrasi. Seperangkat
elite kepemimpinan nasional dengan adanya proses tersebut tampil secara
legitimit dalam batas waktu yang ditentukan yang telah diserahi tugas untuk
mengatur dan memimpin Negara dalam batas waktu yang ditentukan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang – undangan yang telah disepakati secara bersama.
Dengan memiliki kapasitas untuk mengatur
Negara termasuk warga Negara dalam batas waktu tertentu dan kompetensi
tertentu, seorang pimpinan nasional secara sah dan resmi memegang otoritas
Negara terutama dalam penyelenggaraan pelayanan dan keperluan publik meliputi
bidang politik, ekonomi, social budaya dan maupun keamanan nasional. Dikenal
sebagai “Majority Rule” atau elite politik yang terpilih dengan memenangkan
suara terbanyak yang diberikan kekuasaan yang terlegitimasi tersebut, pada
umumnya merupakan penganut dari system demokrasi. Selalu diusahakan berjalan
secara rasional disamping adil dan harus dengan dasar kepentingan seluruh
rakyat Negara agar terhindar dari hanya mementingkan kepentingan pribadi maupun
kelompok ataupun golongannya merupakan legitimasi kekuasaan mayoritas.
Hal yang dibicarakan diatas merupakan
salah satu dari sektor kepemimpinan nasional yakni yang meliputi tiga area
kekuasaan yaitu kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif yang terdapat
pada sektor pemerintahan Negara. Lebih jelasnya lagi ialah kekuasaan dalam
perancangan dan pembentukan undang – undang, pelaksanaan undang – undang,
pengawasan terhadap undang – undang dan pengadilan yang menjadi satu – kesatuan
dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara.
Disamping itu, sektor swasta dan sektor
komunitas masyarakat merupakan jenis elite kepemimpinan nasional yang bergerak
di sektor lain. Dijalankan oleh elite professional yang kompeten, pengadaan
barang dan jasa, pendistribusian maupun konsumsi yang belum tersentuh sector
public atau bahkan yang membantu sector public merupakan sector swasta yang
bergerak di sector bisnis yang dijalankan dengan keterampilan teknis juga
dengan kekuatan permodalan dan biasanya sector ini justru dipilih secara
demokratis. Sector berikutnya adalah sector komunitas atau kemasyarakatan
dimana sector ini bergerak di bidang yang umumnya non – profit dan berbeda dari
sector swasta yang biasanya “profit making dan privat property” serta dipilih
secara terbatas oleh para pengikutnya sendiri. Sector ini meliputi leadership
organisasi masa, organisasi keagamaan, lembaga swadaya masyarakat,
kemahasiswaan, organisasi profesi dan lainnya.
Subordinasi yang dimiliki oleh setiap
sector kepemimpinan nasional bisa mencapai ke daerah – daerah bahkan hingga ke
kampung atau desa. Dalam menghadapi kehidupan bangsa yang sangat kompleks,
sector – sector tersebut merupakan suatu system otoritas yang otonom tetapi
tetap saling interpendensi. Dalam merealisasikan visi dan misinya untuk menghasilkan
kondisi masa depan yang lebik baik, seorang leaders yang harus terus bergerak
dan membuktikan kompetensinya secara holistic meliputi kepentingan spiritual,
material dan social masyarakat.
E.
Pemimpin
Berjiwa Nasionalis
Dengan adanya kepemimpinan nasional dari
pusat hingga ke daerah sepanjang masa harus dapat membuktikan suatu benefit
berupa kesejahteraan spiritual, material dan social secara adil dan merata
dalam masyarakat berbangsa dan bernegara yang meliputi seluruh sector public
swasta maupun komunitas. Dengan berjiwa nasional atau kebangsaan, oleh karena
itu sangat dibutuhkan adanya pemimpin yang memiliki kriteria tersebut secara
mutlak. Pertama, dalam membangun budaya kebangsaan yang berkualitas tinggi,
mereka harus memiliki komitmen dalam memelihara keberlansungan aspirasi
kebangsaan. Kedua, lebih mementingkan kepentingan nasional daripada kepentingan
pribadi kelompok maupun kepentingan internasional (urusan luar negeri) yang
merugikan bangsa, mereka sudah selayaknya wajib mendedikasikan diri atau
mengabdi pada “kepentingan bangsa”. Ketiga, demi terbangunnya integritas
nasional dan kesejahteraan bangsa, pemimpin nasional seharusnya lebih
mementingkan terwujudnya idealism kebangsaan yang telah menjadi kesepakatan
nasional sebagaimana yang tercantum dalam dasar Negara.
Layaknya seorang konduktor yang sedang
mengomando sebuah konser music dengan berdiri diatas sebuah kotak kecil dengan
memegang tongkat aba – aba dimana sedikit saja gerakan tongkat di tangan dapat
merubah nada lagu sesuai dengan irama tongkat. Konduktor tersebut memiliki
pengawasan yang sempurna yang bersifat otoritatif namun tidak dogmatif tetapi
sangat efektif tehadap disiplim para pemain music yang dipimpinnya. Hanya
membantu orang lain agar berbuat dengan benar sesuai dengan irama yang
ditentukan namun tidak terbayang adanya paksaan atau ancaman karena didalam
dirinya ada sebuah kebenaran yang bisa membuat orang lain tidak boleh berbuat
salah. Dengan begitu untuk menghasilkan alunan music yang baik, semua anggota
harus bekerjasama demi kepentingan bersama. Sehingga inilah seorang pemimpin
sector , baik sector public, swasta atau komunitas harus terlahir dari otoritas
yang ada. Sedangkan irama yang terlahir dari sebuah kepemimpinan nasionalistik
merupakan jiwa kebangsaan.
Max Weber pernah menjelaskan tentang
tiga kategori otoritas seorang pemimpin (1) otoritas tradisional, yaitu
otoritas yang berdasarkan keyakinan maupun dan tradisi tertentu seperti yang
terlihat pada pimpinan komunitas tradisi atau adat maupun keagamaan yang
berjalan sesuai dengan garis tradisi maupun religionitas tertentu. (2) Otoritas
regional – legal, yaitu otoritas yang berdasarkan legalitas aturan yang dibuat
secara rasional menjadi aturan hukum yang diberlakukan secara normatif, seperti
yang terlihat pada kepemimpinan publik atau pemerintahan, (3) Otoritas
Karismatik, yaitu otoritas yang berdasarkan ketaatan yang biasa kepada seorang
pemimpin karena bukti ketaatannya atau kepahlawanan yang dimilikinya.
Dengan demikian, model sebuah
kepemimpinan menurut Weber dapat ditentukan melalui tradisi, karisma maupun
aturan – aturan hukum. Bila paksaan timbul maka legitimasi tersebut menjadi
kehilangan arti karena legitimit menjadi seorang pemimpin organisasi tanpa
adanya paksaan yang menyertainya adalah mereka yang memenuhi persyaratan dari
salah satu tiga kriteria tersebut.
Berdasarkan kriteri Weber tersebut, maka
seorang pemimpin yang berjiwa nasional pun bisa bersifat rasional legal seperti
para pemimpin pemerintahan, bersifat tradisional seperti yang terlihat pada para
pemimpin gereja, para ulama, bisa bersifat kharismatik seperti para
professional yang sukses dalam bidang pekerjaannya ataupun bahkan seperti para
pemimpin pemerintahan yang telah dianggap rakyatnya sebagai pahlawan besar oleh
jasa yang telah dibuktikannya.
F.
Pemimpin
Nasional yang Berkarakter
Jika merangkaikan kriteria nasionalisme dengan
deskripsi yang berkarakter, maka karakter akan menitik beratkan pada
persyaratan sikap pribadi sang leader dengan ketentuan komitmen jiwa kebangsaan
dan pengabdian pada kepentingan nasional sebagai syarat dari sikap
nasionalisme.
Dengan mengikuti definisi yang dikemukakan oleh
Prof. A.A. Roback dalam bukunya yang berjudul “ The Psychology of Character “
(New York, 1928) yang menyatakan bahwa “ Character is an enduring
psychopsysical dispotition in inhibit instinctive tendencies in accordance with
regulative principles to achieve a desired objective “ ( Bahwa karakter adalah
sebuah kendali sikap jiwa dan badan manusia secara terus – menerus untuk
mencegah kecenderungan instingtif agar selaras dengan prinsip – prinsip aturan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan ).
Setidaknya terdapat empat unsur karakter yang perlu
mendapat perhatian, (1) sebagai dasar yang akan menjadi identitas seseorang
yaitu dengan adanya kendali sikap pada jiwa dan badan manusia yang melekat pada
setiap insan secara terus – menerus, (2) Nafsu hewani karena adanya sikap
tersebut untuk menghilangkan kecenderungan instingtif, adanya daya tahan untuk
mengatasi masalah, dan adanya kekuatan metafisis yang tertanam dengan entitas
kekuatan batin yang dapat menghasilkan suatu perbuatan nyata yang konsisten
terhadap prinsip – prinsip social, (3) Dalam melakukan tindakan perlu adanya
prinsip – prinsip regulasi atau aturan yang terlegitimasi dari komunitas
masyarakat sendiri sebagai pedoman, (4) adanya satu atau bahkan seperangkat
tujuan yang ingin dicapai. Dengan demikian, karena menganut aturan yang jelas
dan memiliki tujuan nyata, maka karakter telah menjadi sikap yang menetap
terintegritas pada manusia dan tidak lagi bersifat nafsu hewani.
Kebenaran, kebaikan dan keadilan yang berjalan di
muka bumi akan terindentifikasi secara jelas sebagai karakter pada system etika
yang berakar pada kemauan baik yang mendasar dalam hati nurani manusia sebagai
keutamaan. Untuk mempermudah membedakan seorang manusia dengan orang lain yaitu
melalui adanya karakter yang kemudian menempel pada diri manusia sehingga
membuat kesendirian seseorang menjadi nyata.
Kata “karakter” berasal dari bahasa latin
“Charakter” atau bahasa Yunani “Charasein” yang berarti “Penajaman atau
Pengukiran” pada jiwa dan raga manusia sebagai sebuah gambaran yang membedakan
seseorang dan juga menyangkut seperangkat watak dan sikap yang menyangkut
reputasi moralitasnya serta pekuliaritas seseorang.
Menjadi hukum yang normatif bagi pergaulan sebagai
“aturan social” dikarenakan karakter juga memiliki fungsi social yaitu ketika
setelah setiap insan pribadi bergaul dengan manusia lain terdapat kesamaan –
kesamaan kebaikan yang kemudian diintegrasikan menjadi kekuatan sosial.
Dengan adanya kesamaan tersebut, ketunggalan yang
objektif atau ideologis mampu diciptakan oleh manusia. Dengan mempelajari
pengalaman pahit yang dialami dalam hidupnya, manusia membutuhkan sebuah tujuan
yang objektif dan menyingkirkan subjektivitasnya. Sehingga pada akhirnya
“konsistensi etika sosial” yang berlaku secara umum dapat diwujudkan melalui
karakter manusia tersebut dan karakter yang dulunya individual menjadi
kerjasama social. Dari pengalaman tersebut dapat disimpulkan bahwa sebagian
kecil di antara mereka harus diangkat sebagai pemimpin yang memiliki kompetensi
otoritas dan juga menunjukkan bahwa manusia harus bekerjasama secara social.
Sekalipun menunjukkan bahwa karakter social
masyarakat berakar dari kumpulan karakter individual sebagai penyusunnya dapat
membuktikan bahwa sebenarnya karakter memiliki fungsi social dan dengan nilai –
nilai dasar yang sama yang kemudian dibekukan dalam keteraturan bersama. Dalam
melahirkan suatu leadership dari dalam diri organisasi, terlebih setelah
tersusunnya organisasi tunggal seperti terwujudnya Negara hingga bangsa maupun
organisasi social yang lebih kecil sebagai hasil dari consensus.
Jika tidak ada lagi penghalang yang bisa merintangi
aplikasi dari karakter social tersebut berarti bahwa seorang pemimpin telah
menjalankan tugas selayaknya dengan berada ditengah karakter social dan
kemudian mengimplementasikannya sebagai hasil dari kesepakatan bersama serta
tidak mementingkan kepentingan pribadinya.
Lahir, tumbuh dan berkembang dari prinsip – prinsip
pribadi manusia sendiri, karakter dalam perjalanannya berada sejajar dengan
prinsip – prinsip etika kemudian oleh aturan normative hukum Negara atau
“fitrah kemanusiaan” diperkuat oleh prinsip – prinsip ajaran agama, ketentuan
tradisi dan adat kebiasaan.
Dalam bukunya “The Healthy Personality” (New York,
Mc Millan : 1974) oleh seorang pakar kepribadian manusia, Sidney M. Jouzard
menegaskan bahwa “The Healthy Personality calls for spontaneous, creative,
flexible, actively, expressive behavior. This frees the body of tension and
allows it to be open to new experiences. The mentally healthy individual
exhibits real, honest aesthetics behaviors and has the ability to accept and
live in harmony with other beings and nature” (bahwa kepribadian yang sehat
akan menampilkan kejelasan watak yang lugas, kreatif, fleksibel dan aktif. Hal
ini bisa membebaskan diri dari ketegangan dan memungkin- kannya terbuka bagi
pengalaman-pengalamn baru. Pribadi yang sehat mental tersebut akan
memperlihatkan sikap asli nyata dan jujur dan memiliki kemampuan bisa menerima
dan hidup dalam keselarasan dengan manusia lain maupun alam sekitar).
Ketika berbicara tentang pengembangan potensi
kemanusiaan pada diri seseorang, seorang humanis “A. H. Maslow” Mengemukakan
bahwa perlu diperhatikannya pemenuhan kebutuhan – kebutuhan hirarkisnya yaitu
(1) kebutuhan fisik seperti meliputi makan, air, pakaian dan perumahan, (2) Kebutuhan
keamanan dan perlindungan, (3) kebutuhan kasih saying, (4) kebutuhan atas
penghargaan terhadap suatu pencapaian yang diselesaikan dan (5) kebutuhan untuk
aktualisasi diri sebagai kesehatan mental yang paling optimal.
Dalam komentarnya terhadap puncak kebutuhan “Self
actualization” dari Maslow tersebut, Sidney M. Jourad menyebutkan 15 item yang
harus dimiliki seseorang, terlebih sebagai seorang leader adalah sebagai
berikut :
1. Lebih
merasa nyaman dengan realitas yang dihadapi dalam kehidupan dan berani.
2. Selalu
bersikap menerima kehadiran orang lain dalam keadaan apapun.
3. Memilki
spontanitas dalam pemikiran, sikap maupun emosi terhadap kenyataan.
4. Memusatkan
diri pada permasalahan yang dihadapi, tugas, kewajiban maupun misi.
5. Memerlukan
privasi, dapat menikmati kesendirian, meditasi dan konsentrasi.
6. Memilki
derajat tinggi otonomi, selalu menjaga integritas diri.
7. Tetap
segar mengapresiasi dasar hidup yang baik., selalu mencari pengalaman.
8. Bisa
mengalami yang bersifat mistik, merasakan bagian dari lautan kemanusiaan.
9. Gemeinschaftgeful
atau brotherky feeling, sahabat semua manusia.
10. Mempunyai
hubungan erat dengan beberapa orang tertentu yang dicintai.
11. Memiliki
struktur karakter yang demokratis pada semua orang.
12. Memiliki
rasa etika yang kuat dan mengembangkannya dalam kehidupan
13. Tidak
mengharamkan humor ketimbang terhadap sadisme dan jiwa memberontak
14. Sangat
kreatif dan suka invensi, tidak terbatas pada jalan yang lumrah
15. Memiliki
resistensi yang kuat terhadap enkulturasi, bisa bersikap kritis terhadap budaya
yang tidak konsisten atau ketidakjujuran masyarakat.
Comments
Post a Comment