hukum tata usaha negara : Ilmu, Lingkup dan Kajian

HUKUM TATA USAHA NEGARA

1. PENGERTIAN DAN LINGKUP KAJIAN HTUN
a. PENGANTAR HTUN
Tata Usaha Negara menurut ketentuan pasal 1 ayat 7 UU No. 5 tahun 1986 jo no. 9 tahun 2004 jo UU No. 51 Tahun 2009 adalah adminsitrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah. Hukum tata usaha negara atau hukum administrasi negara adalah keseluruhan aturan-aturan hukum yang berkaitan dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan (negara); atau secara singkat dapat disebut dengan hukum pemerintahan (negara).
b. ILMU HTUN
Ilmu hukum tata usaha negara adalah ilmu yang mempelajari himpunan peraturan perundang-undangan yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah dengan warga negaranya.
c. LINGKUP KAJIAN HTUN
- HTUN berkenaan mengenenai wewenang lembaga negara baik dtingkat pusat maupun daerah.
- Perhubungan kekuasaan antar lenbaga Negara (administrasi negara), dan antara lembaga negara dengan warga masyarakat (warga negara).
- memberikan jaminan perlindungan hukum kepada keduanya, yakni kepada warga masyarakat dan administrasi negar itu sendiri.

2. HUBUNGAN HTUN DENGAN ILMU LAINNYA
• HTUN dengan ilmu negara
Ilmu Negara merupakan dasar dalam penyelenggaraan praktek ketatanegaraan yang diatur dalam Hukum Tata Negara lebih lanjut dengan kata lain Ilmu Negara yang mempelajari konsep, teori tentang Negara merupakan dasar dalam mempelajari Hukum Tata Negara.
• HTUN dengan ilmu politik
Hukum Tata Negara mempelajari peraturan-peraturan hukum yang mengatur organisasi kekuasaan Negara, sedangkan ilmu politik mempelajari kekuasaan dilihat dari aspek perilaku kekuasaan tersebut. Dengan kata lain Ilmu Politik melahirkan manusia-manusia Hukum Tata Negara sebaliknya Hukum Tata Negara merumuskan dasar dari perilaku politik/kekuasaan.


• HTUN dengan HAN
Hukum Administrasi Negara merupakan bagian dari Hukum Tata Negara dalam arti luas, sedangkan dalam arti sempit Hukum Administrasi Negara adalah sisanya setelah dikurangi oleh Hukum Tata Negara. Hukum Tata Negara adalah hukum yang meliputi hak dan kewajiban manusia, personifikasi, tanggung jawab, lahir dan hilangnya hak serta kewajiban tersebut hak-hak organisasi batasan-batasan dan wewenang. Menurut Budiman Sinaga, mengenai perbedaan antara Hukum Tata Negara dengan Hukum Administrasi Negara terdapat banyak pendapat. Secara sederhana, Hukum Tata Negara membahas negara dalam keadaan diam sedangkan Hukum Administrasi Negara membahas negara dalam keadaan bergerak. Pengertian bergerak di sini memang betul-betul bergerak, misalnya mengenai sebuah Keputusan Tata Usaha Negara. Keputusan itu harus diserahkan/dikirimkan dari Pejabat Tata Usaha Negara kepada seseorang.

3. PENGERTIAN DASAR KENEGARAAN DAN PEMERINTAHAN
a. Pengertian ilmu kenegaraan
Ilmu Negara adalah ilmu yang mempelajari pengertian-pengertian pokok dan sendi pokok negara pada umumnya. Kajiannya mencakup hal-hal yang sama atau serupa dalam negara-negara yang ada atau pernah ada, misalnya tentang terjadinya negara, lenyapnya negara, tujuan dan fungsi negara, perkembangan negara, bentuk negara dan sebagainya. Ilmu Negara menekankan hal-hal yang bersifat umum dengan menganggap negara sebagai genus (bentuk umum) dan mengesampingkan sifat-sifat khusus dari negara-negara. Ilmu Negara tidak membahas bagaimana pelaksanaan hal-hal umum itu dalam suatu negara tertentu.

b. Hakekat negara
Hakekat Negara dimaksudkan adalah suatu penggambaran tentang sifat daripada Negara. Negara sebagai wadah suatu bangsa yang diciptakan oleh Negara itu sendiri. Biasanya penggambaran hakekat Negara disesuaikan dengan tujuan Negara. Tujuan Negara adalah merupakan kepentingan utama daripada tatanan suatu Negara. Karena hakekat Negara sesuai dengan tujuan Negara maka banyak pendapat atau tujuan Negara, sebanyak aliran filsafat yang ada.

c. Pengertian filsafat negara
Filsafat negara (Political Philosophy) merupakan sikap hidup,Pandangan hidup yakni sesuatu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan kesalahannya.Dalam aliran-aliran pokok dalam pandangan politik modern,menurut Hallowet dalam bukunya Main currents in modern political thoughts mengatakan bahwa pada hakikatnya baik demokrasi,sindikalisme,fasisme,marxisme dan komunisme pada akhirnya akan bersandar tentang memahami sifat dan hakikat manusia.


d. Sejarah teori terjadinya negara
- Teori hukum alam adalah teori awal tentang terbentuknya suatu negara. Teori ini menurut sejarah ada pada zaman Plato dan Aristoteles. Menurut teori ini, terjadinya negara adalah hal yang natural atau alami. Segala sesuatu terjadi sesuai dengan hukum alam, begitupun dengan negara. Teori pembentukan negara ini juga didasari atas kecenderungan manusia untuk selalu bersosial, berkumul dan saling berhubungan untuk mencapai kebutuhan hidupnya.
- Teori kedua terbentuknya negara adalah teori ketuhanan. Teori ketuhanan adalah teori yang ada saat agama agama besar telah tersebar ke dunia ini contohnya Islam dan Kristen. Teori ini sesuai namanya tentu saja dipengaruhi oleh paham keagamaan. Dan berdasarkan itulah, teori ketuhanan terbentuknya negara didasari anggapan bahwa negara terbentuk atas dasar keinginan Tuhan. Berdasar terhadap kepercayaan bahwa segala sesuatu berawal dari Tuhan dan berjalan sesuai kehendaknya. Paham dan teori ini diajukan oleh beberapa ahli seperti Freidericch Julius Stahl, Thomas Aquinas, dan Agustinus.
- Teori ketiga terbentuknya negara adalah teori perjanjian. Teori perjanjian ada atas reaksi terhadap kedua teori sebelumnya,Atas dasar kedua teori yang ada sebelumnya tidak mampu menjelaskan asal dan bagaimana terbentuknya negara. Selain itu, teori ini merupakan bentuk perlawanan atas kekuasaan raja ataupun penguasa yang menganggap memiliki kekuasaan mutlak akibat kepercayaan sebagai titisan Tuhan. Teori perjanjian ini ada dimasa abad pencerahan dan dipelopori oleh ahli ahli seperti Thomas Hobbes, John Locke, J.J. Rousseau, dan Montesquieu. Menurut teori ini, negara merupakan wujud perjanjian masyarakat sebelum bernegara dan kemudian menjadi masyarakat bernegara.
e. Bentuk negara
Jika dilihat dari bentuk negara yang berlaku umum di dunia maka bentuk negara secara umum dibagi menjadi 2 yaitu:
- Negara kesatuan, merupakan bentuk negara yang sifatnya tunggal dan tidak tersusun dari beberapa negara yang memiliki kedaulatan, tidak terbagi, dan kewenangannya berada pada pemerintah pusat. Conroh negara yang berbentuk kesatuan adalah Indonesia, Filipina, Thailand, Kamboja dan Jepang.
- Negara federasi atau serikat, adalah negara bersusunan jamak, terdiri atas beberapa negara bagian yang masing-masing tidak berdaulat. Conroh negara yang berbentuk federasi adalah Amerika Serikat, Malaysia, Australia, Kanada, Meksiko, Irlandia, New Zealand, India.
f. Kedaulatan dalam negara
Pengertian kedaulatan negara adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk menguasai wilayah pemerintahannya dan masyarakat. Kekuasaan tersebut bersifat asli pemamen tungal dan tidak terbatas.
Kedaulatan Negara adalah kedaulatan yang ada pada negara. Negaralah yang menciptakan hukum, jadi segala sesuatu harus tunduk kepada negara. Negara disini dianggap sebagai suatu keutuhan yang menciptakan peraturan-peraturan hukum, jadi adanya hukum itu karena adanya negara dan tiada satu hukumpun yang berlaku jika tidak dikehendaki oleh Negara.

4. SUMBER HUKUM TATA USAHA NEGARA
a. ISTILAH SUMBER HUKUM FORMIL DAN MATERIL
• Sumber hukum Materil ialah sumber hukum yang dilihat dari segi isinya, misalnya : KUHP segi materilnya adalah pidana umum, kejahatan dan pelanggaran. KUHPerdata mengatur masalah orang sebagai subjek hukum, benda sebagai objek, perikatan, perjanjian, pembuktian dan daluarsa.
• Sumber hukum Formil : sumber hukum yang dilihat dari segi yuridis dalam arti formil.yaitu:UU, Kebiasaan, Traktat, Yurisprudensi, Doktrin.
b. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
• Peraturan Pemerintah
• Peraturan Presiden
• Peraturan Daerah
c. HIERARKI PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN BERDASARKAN UU NOMOR 12 TAHUN 2011 TENTANG PEMBENTUKAN PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN
Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas:
• Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
• Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
• Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
• Peraturan Pemerintah;
• Peraturan Presiden;
• Peraturan Daerah Provinsi; dan
• Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

5. AZAS – AZAS HUKUM TATA USAHA NEGARA
a. AZAS PANCASILA
Setiap negara didirikan atas filsafah bangsa. Filsafah itu merupakan perwujudan dari keinginan rakyat dan bangsanya. Dalam bidang hukum, pancasila merupakan sumber hukum materil, karena setiap isi peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengannya dan jika hal itu terjadi, maka peraturan tersebut harus segera di cabut. Pancasila sebagai Azas Hukum Tata Negara dapat dilihat dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945.

b. AZAS NEGARA HUKUM
Yaitu negara yang berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga negaranya. Asas Negara hukum (rechtsstaat) cirinya yaitu pertama, adanya UUD atau konstitusi yang memuat tentang hubungan antara penguasa dan rakyat, kedua adanya pembagian kekuasaan, diakui dan dilindungi adanya hak-hak kebebasan rakyat.
Unsur-unsur / ciri-ciri khas daripada suatu Negara hukum atau Rechstaat adalah :
1. Adanya pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia yang mengandung persamaan dalam bidang politik, ekonomi, sosial, kultur dan pendidikan.
2. Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak, tidak dipengaruhi oleh suatu kekuasaan atau kekuatan lain apapun.
3. Adanya legalitas dalam arti hukum dalam semua bentuknya.
4. Adanya Undang-Undang Dasar yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dengan rakyat.
c. AZAS KEDAULATAN RAKYAT
Asas kedaulatan rakyat merupakan salah satu asas dalam Hukum Tata Negara yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan di dalam negara.

Asas ini merupakan pengejawantahan dari berbagai asas dalam pemikiran negara dan hukum “ suara rakyat suara Tuhan”, Solus Populi Supreme Lex” ( kepentingan rakyat merupakan hukum yang tertinggi).
Kaitannya dengan demokrasi, yaitu demos = rakyat, cratein = pemerintahan, yaitu pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat.
Hakikatnya adalah pemerintahan rakyat.

Rakyat merupakan massa individu (himpunan) individu yang memiliki hak-hak dan merupakan suatu kolektivitas yang tidak memungkinkan untuk melaksanakan kendali pemerintahan secara langsung, sehingga menggunakan sistem perwakilan ( representative government).
d. AZAS DEMOKRASI
Adalah suatu pemerintahan dimana rakyat ikut serta memerintah baik secara langsung maupun tak langsung. Asas Demokrasi yang timbul hidup di Indonesia adalah Asas kekeluargaan.
e. AZAS NEGARA KESATUAN
Adalah suatu cara untuk mewujudkan masyarakat yang bersatu dan damai tanpa adanya perselisihan sehingga terciptanya rasa aman tanpa khawatir adanya diskriminasi. Asas Negara kesatuan pada prinsipnya tanggung jawab tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan pemerintah pusat. Akan tetapi, sistem pemerintahan di Indonesia yang salah satunya menganut asas Negara kesatuan yang di desentralisasikan menyebabkan adanya tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan hubungan kewenangan dan pengawasan.
f. AZAS PEMISAHAN KEKUASAAN
Yang berarti pembagian kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam beberapa bagian baik mengenai fungsinya.
Beberapa bagian seperti dikemukakan oleh John Locke yaitu :
1. Kekuasaan Legislatif
2. Kekuasaan Eksekutif
3. Kekuasaan Federatif
Montesquieu mengemukakan bahwa setiap Negara terdapat tiga jenis kekuasaan yaitu Trias Politica
1. Eksekutif
2. Legislatif
3. Yudikatif
        g. ASAS LEGALITAS
Dimana asas legalitas tidak dikehendaki pejabat melakukan tindakan tanpa berdasarkan undang-undang yang berlaku. Atau dengan kata lain the rule of law not of man dengan dasar hukum demikian maka harus ada jaminan bahwa hukum itu sendiri dibangun berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi.
6. SEJARAH KETATANEGARAAN INDONESIA
a. SEBELUM 17 AGUSTUS 1945
Masa Penjajahan Belanda
Pada masa ini Indonesia (yang selanjutnya disebut Hindia Belanda) dikonsturksikan merupakan bagian dari Kerajaan Belanda. Hal ini nampak jelas tertuang dalam Pasal 1 UUD Kerajaan Belanda ( IS 1926 ). Dengan demikian kekuasaan tertinggi di Hindia Belanda ada di tangan Raja. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Raja/Ratu tidak melaksanakan kekuasaannya sendiri di Hindia Belanda, melainkan dibantu oleh Gubernur Jenderal sebagai pelaksana. Ratu Belanda sebagai pelaksana pemerintahan kerajaan Belanda harus bertanggung jawab kepada parlemen. Ini menunjukkan sistem pemerintahan yang dipergunakan di Negeri Belanda dalam sistem Parlementer Kabinet.
Adapun peraturan perundang-undangan dan lembaga negara yang ada pada masa Hindia Belanda adalah :
a.       Undang Undang Dasar Kerajaan Belanda 1938
Pasal 1 : Indonesia merupakan bagian dari Kerajaan Belanda.
Pasal 62 : Ratu Belanda memegang kekuasaan pemerintahan tertinggi atas pemerintah Indonesia, dan Gubernur Jenderal atas nama Ratu Belanda menjalankan pemerintahan Umum.
Pasal 63 : Ketatanegaraan Indonesia ditetapkan dengan undang-undang, soal-soal intern Indonesia diserahkan pengaturannya kepada badan-badan di Indonesia, kecuali ditentukan lain dengan Undang-Undang.
b.      Indische Staatsregeling (IS) pada hakekatnya adalah Undang-undang, tetapi karena substansinya mengatur tentang pokok-pokok dari Hukum Tata Negara yang berlaku di Hindia Belanda (Indonesia), maka secara riil IS dapat dianggap sebagai Undang-Undang Dasar Hindia Belanda.
Berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan tersebut di atas, dapat ditarik pemahaman bahwa sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kerajaan Belanda adalah dengan menggunakan asas dekonsentrasi. Dengan demikian secara umum, kedudukan dari Gubernur Jenderal dapat disetarakan sebagai Kepala wilayah atau alat perlengkapan Pusat (Pemerintah Kerajaan Belanda). Adapun bentuk-bentuk peraturan perundang-undangan yang dikenal pada masa berlakunya IS adalah :[1]
a.       WET
Yang dimaksud dengan WET adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu/Raja Kerajaan Belanda bersama-sama dengan Parlemen (DPR di Belanda). Dengan kata lain WET di dalam pemerintah Indonesia disebut Undang-Undang.
b.      AMVB (Algemene Maatregedling Van Bestuur)
Yang dimaksud dengan Algemene Maatregedling Van Bestuur adalah peraturan yang dibuat oleh Mahkota Belanda dalam hal ini adalah Ratu / Raja Kerajaan Belanda saja, tanpa adanya campur tangan dari Parlemen. Dengan kata lain Algemene Maatregedling Van Bestuur di Indonesia disebut Peraturan Pemerintah (PP).
c.       Ordonantie
Yang dimaksud dengan Ordonantie adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda bersama-sama dengan Voolksraad (Dewan Rakyat Hindia Belanda). Ordonantie sejajar dengan Peraturan daerah (Perda) di dalam pemerintahan Indonesia saat ini.
d.      RV (Regering Verardening)
Regering Verardening adalah semua peraturan yang dibuat oleh Gubernur Hindia Belanda tanpa adanya campur tangan Volksraad. Regering Verardening setara dengan Keputusan Gubernur .
Keempat peraturan perundang-undangan ini disebut Algemene Verordeningen (peraturan umum). Disamping itu juga dikenal adanya Local Verordeningen (peraturan lokal) yang dibentuk oleh pejabat berwenang di tingkat lokal seperti Gubernur, Bupati, Wedana dan Camat.
 Pada masa Hindia Belanda ini sistem pemerintahan yang dilaksanakan adalah Sentralistik. Akan tetapi agar corak sentralistik tidak terlalu mencolok, maka asas yang dipergunakan adalah dekonsentrasi yang dilaksanakan dengan seluas-luasnya. Hal ini menjadikan Hindia Belanda (Indonesia) tidak memiliki kewenangan otonom sama sekali, khususnya dalam mengatur dan mengurus urusan rumah tangganya sendiri. Sistem ketatanegaraan seperti ini nampak dari hal-hal sebagai berikut :
a.       Kekuasaan eksekutif di Hindia Belanda ada pada Gubernur Jenderal dengan kewenangan yang sangat luas dengan dibantu oleh Raad Van Indie (Badan penasehat)
b.      Kekuasaan kehakiman ada pada Hoge Rechshof (Mahkamah Agung)
c.       Pengawas keuangan dilakukan oleh Algemene Reken Kamer.

Struktur ketatanegaraan seperti ini berlangsung sampai pada masa pendudukan Jepang dan berakhir pada masa proklamasi kemerdekaan.
Memperhatikan susunan ketatanegaraan tersebut di atas, maka dari segi hukum tata negara, Hindia Belanda belum dapat disebut sebagai negara. Hal ini mengingat tidak dipenuhinya unsur-unsur untuk disebut negara, seperti mempunyai wilayah, mempunyai rakyat, dan mempunyai pemerintahan yang berdaulat.
Memang realitasnya ketiga unsur tersebut dapat dikatakan sudah terpenuhi. Wilayahnya ada, rakyatnya ada, bahkan pemerintahan yang berdaulat terpenuhi. Akan tetapi hakekat keberadaan ketiga unsur tersebut tidak muncul karena dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri, melainkan didasarkan pada kondisi kolonialisme yang berlangsung pada saat itu.
Ditinjau dari unsur pemerintahan yang berdaulat, sebenarnya Hindia Belanda tidak dapat dikatakan sebagai sebuah permintaan yang berdaulat, karena kedaulatan Hindia Belanda ada pada Kerajaan Belanda, sedangkan Gubernur Jenderal hanya berfungsi sebagai penyelanggara pemerintahan umum di wilayah Hindia Belanda sebagai daerah jajahan Kerajaan Belanda.
2.      Masa Penjajahan Jepang
Sejarah menunjukkan bahwa dengan adanya Perang Asia Timur Raya atau terkenal dengan sebutan Peran Dunia Ke II muncullah kekuatan angkatan perang yang cukup dominan yaitu bala tentara Jepang. Dengan kekuatan inilah hampir seluruh kawasan asia mampu diduduki oleh bala tentara Jepang, tidak terkecuali Indonesia yang pada saat itu masih berada di bawah kolonialisme Belanda.
Dalam sejarah perang asia timur raya, dapat digambarkan bahwa kedudukan Jepang di Indonesia adalah :
a.       Sebagai penguasa pendudukan, maka Jepang tidak dibenarkan untuk mengubah susunan ketatanegaraan / hukum di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan wilayah pendudukan Jepang adalah merupakan wilayah konflik yang menjadi medan perebutan antara bala tentara Jepang dengan Belanda. Oleh karena itu, Jepang hanya meneruskan kekuasaan Belanda atas Hindia Belanda. Namun dalam hal ini kekuasaan tertinggi tidak lagi ada di tangan pemerintah Belanda, melainkan diganti oleh kekuasaan bala tentara Jepang.
Jepang berusaha mengambil simpati dari bangsa-bangsa yang ada di kawasan asia timur raya termasuk Indonesia denga menybut dirinya sebagai Saudara tua. Dalam sejarah Indonesia, sebutan seperti ini dilanjutkan dengan pemberian Janji kemerdekaan kepada Indonesia dikelak kemudian hari. Janji tersebut direalisir dengan membentuk BPUPK (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan) yang kemudian melaksanakan persidangan sebanyak dua kali.
Sebelum PPKI berhasil melaksanakan sidang-sidang untuk melanjutkan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh BPUPKI, Jepang menyerah pada sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Pada saat itu pula sekutu belum masuk ke wilayah Indonesia. Menurut hukum internasional, penguasa pendudukan yang menyerah harus tetap menjaga agar wilayah pendudukan tetap dipertahankan seperti sedia kala atau dalam konsidi status quo.
Perlu diketahui pula pada masa pendudukan bala tentara Jepang, wilayah Indonesia dibagi menjadi tiga wilayah besar yaitu :[2]
a.       Daerah yang meliputi Pulau Sumatera dibawah kekuasaan Pembesar Angkatan darat Jepang dengan pusat kedudukan di Bukittinggi.
Daerah yang meliptui pulau Jawa berada di bawah kekuasaan Angkatan darat yang berkedudukan di Jakarta.
Daerah-daerah selebihnya berada di bawah kekuasaan Angkatan Laut yang berkedudukan di Makasar.
Dari pembagian wilayah ini membuktikan bahwa pada masa pendudukan Jepang paham militeristik menjadi model bagi pengaturan sistem ketatanegaraan di Indonesia.
Paham militeristik seperti ini dipandang lebih efektif karena mampu lebih mengedepankan jalur komando dan mampu menghimpun kekuatan yang cukup siknifikan guna menghadap serangan musuh.
Salah satu peraturan yang menjadi salah satu sumber hukum tata negara Republik Indonesia sebelum Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 adalah Undang-Undang No.40 Osamu Seirei tahun 1942. Osamu Seirei adalah peraturan atau Undang-Undang yang cenderung berbau otoriter/pemaksaan. Pengundangan atau pengumuman mengenai undang-undang Osamu Seirei ini dilakukan dengan cara ditempelkan pada papan-papan pengumuman di Kantor-kantor pemerintahan Jepang setempat.

b. SESUDAH 17 AGUSTUS 1945
Menurut UUD 1945, yang berdaulat itu adalah rakyat dan dilakukan oleh MPR, sebagaimana yang ditentukan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Karena MPR melakukan kedaulatan rakyat, oleh UUD 1945 ditetapkan pula beberapa tugas dan wewenangnya. wewenang MPR :
a. Menetapkan UUD dan GBHN
b. Memilih dan mengangkat presiden
c. Mengubah UUD

  MPR sebagai pemegang kedaulatan yang tertinggi dalam sistem ketatanegaraan, dengan jumlah anggota yang begitu banyak tidak dapat bersidang setiap hari oleh karenanya untuk melaksanakan tugas sehari diserahkan kepada presiden sebagai mandataris MPR. Wewenang presiden :
a. Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan dibantu oleh wakil presiden dan mentri-mentrinya.
b. Mentri-mentri diangkat dan diberhentikan oleh presiden
c. Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR
d. Presiden tidak dapat membubarkan DPR
c. SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945 (I/1999 – IV/2002)
 PERIODE 18 AGUSTUS 1945 S/D 27 DESEMBER 1949
Sebelumnya pada tanggal 18 Desember 1948 Belanda secara sepihak membatalkan perjanjian Renville di Tanjung Priok, dan disinilah Belanda melancarkan agresi ke dua, Ir. Soekarno, Sutan Syahrir, H.A Salim pada tanggal 27 Desember 1948 diasingkan ke Brastagi. Sedangkan Moh. Hatta, Mr. Pringgodogdo, M. Assat,Suryadarma, Moh. Room, Mr. Ali Sastro Amidjojo diasingkan ke pulau Bangka. Sedangkan Jenderal Sudirman terus melakukan gerilya di hutan-hutan seputar Yogyakarta dan Jawa Timur.
Pada tanggal 1 Maret 1949 rakyat bersama TNI dibawah pimpinan Soeharto melancarkan serangan besar- besar untuk merebut kembali negara RI di Yogyakarta dan terjadi pertempuran selama 6 jam dan Yogyakarta dapat direbut kembali, peristiwa ini telah membuka mata dunia bahwa Indonesia masih eksis sebagai negara yang selama ini di informasikan oleh Belanda bahwa TNI tidak ada lagi dan RI sudah bubar. Dengan peristiwa 1 Maret 1949 tersebut maka PBB memperhatikan indonesia untuk mengadakan perundingan kembali yang isinya Belanda menyetujui RI kembali ke yogyakarta. Setelah para tokoh RI kembali dari persaingan, maka pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden yang pertama RIS oleh negara bagian dan Soekarno terpilih sebagai Presiden RIS, kemudian tanggal 19 Desember 1949 terbentuk kabinet RIS ke 1 dengan perdana mentrinya Moh. Hatta merangkap Menteri Luar Negeri. Maka pada tanggal 27 Desember 1949 terbentuklah negara RIS dengan dikembalikanya kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia. [5]
Peristiwa terbentuknya negara RIS diawali dari Konferensi Meja Bundar anatara Belanda dan Indonesia di Den Haag dari tanggal 23 Agustus- 2 November 1949 ialah kerajaan Belanda harus memulihkan kedaulatan atas wilayah Indonesia kepada Pemerintahan Republik Indonesia Serikat. Dan pada hari yang sama pula Republik Indonesia menyerahkan kedaulatan kapada Republik Indonesia Serikat dan menjadi salah satu dari enam belas negara bagian dari Republik Indonesia serikat.
Negara Serikat yang berbentuk federal merupakan baentukan dari Belanda seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, Negara Sumatra Selatan , Negara Jawa Timur, Negara Madura, dan lain-lain. Akan tetapi walaupun berbentuk Negara Serikat yang terpisah-pisah rakyat tetap merasakan sebagai Negara kesatuan yang tujuan  utamanya mempertahan Negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945.
 PERIODE 27 DESEMBER 1945 S/D 17 AGUSTUS 1950
Setelah Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945 Belanda masih merasa mempunyai kekuasaan atas Hindia Belanda yaitu Negara bekas jajahan masih dibawah kekuasaan Kerajaan Belanda , dengan alasan :

a. Ketentuan Hukum Internasional

Menurut Hukum Internasional suatu wilayah yang diduduki sebelum statusnya tidak berubah, ini berarti bahwa Hindia-Belanda yang diduduki oleh Bala Tentara Jepang masih merupakan bagian dari Kerajaan Belanda, oleh karena itu setelah Jepang menyerah, maka kekuasaan di Hindia Belanda adalah Kerajaan Belanda sebagai pemilik/ penguasa semula.

b. Perjanjian Postdan

Yaitu pernjajian diadakan menjelang berakhirnya Perang Dunia II yang diadakan oleh Negara Sekutu dengan pihak Jepang, Italia dan Jerman, perjanjian ini menetapkan bahwa setelah Perang Dunia II selesai, maka wilayah yang diduduki oleh ketiga Negara ini akan dikembalikan kepada penguasa semula.

Atas dasar perjanjian di atas, maka Belanda merasa memiliki Kedaulatan atas Hindia- Belanda secara De Jure. Akibat adanya pandangan ini yang kemudian menimbulkan konflik senjata antara Tentara Rakyat Indonesia (TRI) dengan NICA pada tanggal 10 Nopember 1946 di Surabaya. Untuk mengakhiri konflik ini, maka diadakan perundingan antara Indonesia dengan Belanda pada tanggal 25 Maret 1947 di Linggarjati yang antara lain menetapkan :
1. Belanda mengakui RI berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura dan Sumatra, di wilayah lain yang berkuasa adalah Belanda.
2. Belanda dan Indonesia akan bekerja sama membentuk RIS.
3. Belanda dan Indonesia akan membentuk Uni Indonesia Belanda.

Hasil perundingan ini menimbulkan penafsiran yang berbeda antara Belanda Indonesia mengenai soal Kedaulatan Indonesia-Belanda, yaitu :
1. Sebelum RIS terbentuk yang berdaulat menurut Belanda adalah Belanda, sehingga hubungan luar negeri/ Internasional hanya boleh dilakukan oleh Belanda.
2. Menurut Indonesia sebelum RIS terbentuk yang berdaulat adalah Indonesia, terutama Pulau Jawa, Madura dan Sumatra sehingga hubungan luar negeri juga boleh dilakukan oleh Indonesia.
3. Belanda meminta dibuat Polisi bersama, tetapi Indonesia menolak.

Akibat adanya penafsiran ini terjadi Clash I pada tanggal 21 Juli 1947 dan Clash II tanggal 19 Desember 1948. Terjadinya konflik ini akibat adanya agresi militer Belanda terhadap Indonesia. Sedangkan menurut Belanda terjadinya agresi militer Belanda adalah dalam rangka penertiban wilayah Kedaulatan Belanda. Bentrok senjata Indonesia-Belanda ini ini kemudian dilerai oleh PBB dan melakukan genjatan senjata dan dibuat suatu perundingan baru di atas Kapal Renville tahun 1948 yang menetapkan :
1. Belanda dianggap berdaulat penuh di seluruh Indonesia sampai terbentuk RIS.
2. RIS mempunyai kedudukan sejajar dengan Belanda.
3. RI hanya merupakan bagian RIS.

Kemudian diadakan Konfrensi Meja Bundar (KMB) pada tanggal 23 Agustus 1949 sampai 2 November 1949 yang disepakati antara lain :
1. Mendirikan Negara Indonesia serikat
2. Penyerahan kedaulatan kepada RIS
3. Mendirikan UNI antara RIS dengan kerajaan Belanda .

Atas dasar KMB maka pada tanggal 27 Desember 1949 dibentuklah Negara RIS dengan Konstitusi RIS. Berubahnya Negara Kesatuan menjadi Negara Serikat tidak semata-mata campur tangan dari pihak luar ( PBB dan Belanda ), akan tetapi juga kondisi Indonesia yang memberikan kontribusi yaitu adanya keinginan daerah-daerah untuk membentuk Negara/ memisahkan diri dari Negara kesatuan dan membentuk Negara sendiri serta mereka tidak puas terhadap kebijakan pemerintah pusat dan pemerintah pusat tidak adil, yang pada akhirnya banyak daerah-daerah melakukan pemberontakan. Disamping itu Belanda telah berhasil dan makin banyak daerah-daerah membentuk Negara antara lain :

1. Negara Indonesia Timur tahun 1946
2. Negara Pasundan termasuk Distrik Jakarta
3. Negara Jawa Timur 16 Nopember 1948
4. Negara Madura 23 Januari 1948
5. Negara Sumatra Timur 24 Januari 1948
6. dan Negara Sumatra Selatan
7. Negara yang sedang dipersiapkan adalah :
1. Kalimantan Timur
2. Dayak Besar
3. Banjar
4. Kalimantan Tenggara
5. Bangka
6. Belitung
7. Riau
8. dan Jawa Tengah

Naskah Konstitusi RIS disusun oleh delegasi kedua belah pihak. Negara RIS terdiri dari 16 negara bagian dan Ibu Kota Negara Indonesia adalah Jogyakarta dengan Kepala Negara RIS Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta diangkat sebagai Perdana Menteri. Dalam Konstitusi RIS dikenal adanya Senat yang merupakan wakil dari Negara-negara bagian dan sikap Negara bagian 2 orang dengan hak suara satu.
 PERIODE 17 AGUSTUS 1950 S/D 5 JULI 1959
Seperti telah diketahui bahwa negara RIS adalah hasil kompromi antara Indonesia dengan Belanda dalam posisi terdesak Indonesia menerima RIS, namun Negara RIS hasil dari KMB tidak sejalan dengan cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia, maka pada tanggal 27 Desember 1949 dirintis untuk kembali kepada Negara kesatuan dengan proses pemulihan kedaulatan sebagai berikut:[6]
a.         Negara-negara bagian yang menggabungkan diri kepada Negara dengan bagian yang lain (dalam hal ini kepada Negara RIS pemerintahan).
b.         Penyerahan kekuasaan kepada pemerintah federal oleh negara bagian.
c.         Persetujuan antara Negara federal dengan Negara bagian.
Dengan cara ini ternyata belum berhasil untuk melaksanakan pembentukan kesatuan Negara kesatuan kembali, maka harus dicari jalan lain yaitu harus merubah Konstitusi RIS dengan Konstitusi baru dengan berbagai catatan antara lain:
a.       Pasal-pasal yang federalisme dalam Konstitusi RIS harus dicabut.
b.      Negara kesatuan dibentuk dengan cara semua negara bagian yang ada masuk RI, dengan sendirinya RIS bubar.
Maka pada tanggal 18 Agustus 1950, UUDS 1950 dinyatakan berlaku, UUDS 1950  ini sangat berbeda dengan UUDS 1945 hasil proklamasi terutama sistem pemerintahan yang parlementer, kepada pemerintahan di pimpin oleh Perdana Menteri. Pada periode ini Pemerintahan ini tidak stabil sering terjadi pergantian pemerintahan, untuk itu diadakanlah Pemilihan Umum untuk Konstituante bulan Desember 1955 yang diikuti oleh banyak partai politik, pada tanggal 10 November 1956 Presiden Soekarno membuka dengan resmi sidang pertama Konstituante di Bandung. Presiden Soekarno meminta agar Konstituante agar tidak terlalu lama bersidang untuk menghasilkan UUD. Tetapi setelah itu Konstituante telah menjadi medan perdebatan yang tidak berkesudahan, medan pertarungan bagi partai politik dan pemimpin-pemimpin politik mengenai persoalan-persoalan prinsipil.
Disamping itu terjadi pergolakana pada masa kabinet Ali Satro Amidjojo terjadi pemberontakan di daerah oleh PRRI/ Permesta pada akhir 1956, kemudian disusul dengan pengunduran diri wakil Presiden Moh. Hatta. Konstituante yang bersidang untuk membentuk UUD yang permanen telah gagal.
 PERIODE 5 JULI S/D SEBELUM AMANDEMEN UUD 1945
Orde Lama (5 Juli 1959-11 Maret 1966)
Konstiuante telah menyelanggarakan sidang-sidang membahas rencana penggantian UUDS 1950, akan tetapi kentyataanya Konstituante tidak berhasil membuat rumusan tentang undang-undang dasar yang dapat dijadikan pengganti UUDS 1950. Karena kemacetan kerja Konstituante maka pada tanggal 22 April tahun 1959 Presiden menyampaikan amanat kepada Konstituante yang memuat anjuran kepala negara dan pemerintahan untuk kembali kepapda UUD 1945. Amanat Presiden diperdebatkan dalam suatu pemandangan umum sidang Konstituante tanggal 29 April sampai 13 mei 1959 serta tanggal 16 sampai 26 Mei 1959.[7]
Maka dengan pertimbangan keselamatan negara dan bangsa pada tanggal 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengumumkan ”Dekrit” yang berisi: pembubaran Konstituante, penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950.[8]
Orde Baru (11 Maret 1966- 21 Mei 1998)
Dengan Dekrit presiden 5 Juli 1959 berlakulah kembali UUD 1945. Dasar hukum Dekrit ini ialah Staatsnoodrecht. Dibawah UUD 1945 ini untuk pertama kali dilaksanakan pemilihan umum pada tanaggal 3 juli 1971, sebagai pelaksanaan dari Undang-undang No. 15 tahun 1969, undang-undang mana adalah pelaksanaan dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XL/MPRS/1966 jo. No. XL II/MPRS/1968.[9]
Sebagai hasil dari pemilihan umum tersebut maka pada tanggal 28 Oktober 1971 dilantiklah Dewan Perwakilan Rakyat, dan pada tanggal 1 Oktober 1972 Majelis Permusyawaratan Rakyat dilantik pula. Dalam sidangnya tahun 1973 Majelis Permusyawaratan rakyat telah menetapkan bahwa Pemilihan Umum berikutnya akan diadakan pada akhir tahun 1977 dala Ketetapanya No. VIII/MPRS/1973.
Sandaran teoritis yang dikemukakan ialah, bahwa perubahan dengan Dekrit Presiden itu dapat dianggap sah, karena keadaan darurat maka negara dapat memberlakukan hukum tata negara darurat (objective staatsnoodrecht).
Dikaitkan dengan lembaga pemilu, ketiga Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia (UUD 1945, UUD RIS, UUDS 1950) juga menuntut adanya lembaga pemilu meskipun ketiganya tidak secara eksplisit menyebutkanya kecuali UUD 1945 pasca amandemen. Tapi dapat dikatakan UUD itu secara implisit memuat adanya pemilu sebab aparatur negara yang demokratis yang harus dilembagakan menurut UUD tersebut secara Konsitusuonal memang menuntut adanya lembaga pemilu.

7. LEMBAGA – LEMBAGA NEGARA DAN HUBUNGANNYA BERDASARKAN UUD 1945
a. PERKEMBANGAN KETATANEGARAAN
1. Berlaku UUD 1945 ( 17 Agustus 1945 s.d 27 Desember 1949 )
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk pemerintahan : Republik
System pemerintahan : Kabinet Presidensial
2. Konstitusi RIS (27 Desember 1949 s.d 17 Agustus 1950 )
Bentuk Negara : Federal/ Serikat
Bentuk pemerintahan : Uni Republik
System pemerintahan : Kabinet Parlementer
3. UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 s.d 5 Juli 1959 )
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk pemerintahan : Republik
Sistem pemerintahan : Kabinet Parlementer
4. Berlaku kembali UUD 1945 ( 5 Juli 1959 s.d sekarang )
Bentuk negara : Kesatuan
Bentuk pemerintahan : Kabinet
System pemerintahan : Presidensial
5. Orde Lama ( 5 Juli 1959 s.d 11 Maret 1966 )
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk pemerintahan : Republik
System pemerintahan : Kabinet Presidensial (Demokrasi Terpimpin)
6. Orde Baru ( 11 Maret1966 s.d 1998 )
Bentuk Negara : Kesatuan Republik
Bentuk pemerintahan : Kabinet
System pemerintahan : Presidensial (Demokrasi Pancasila)
7. Orde Reformasi ( 1998 s.d sekarang )
Bentuk Negara : Kesatuan
Bentuk pemerintahan : Republik
System pemerintahan : Kabinet Presidensial

b. LEMBAGA – LEMBAGA NEGARA
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
Anggota MPR terdiri atas anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Keanggotaan MPR diresmikan dengan keputusan presiden. Masa jabatan anggota MPR lima tahun dan berakhir bersamaan pada saat anggota MPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Sebelum memangku jabatannya, anggota MPR mengucapkan sumpah/janji bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna MPR.
Sebelum UUD 1945 diamandemen, MPR berkedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. Namun, setelah UUD 1945 istilah lembaga tertinggi negara tidak ada yang ada hanya lembaga negara. Dengan demikian, sesuai dengan UUD 1945 yang telah diamandemen maka MPR termasuk lembaga negara. Sesuai dengan Pasal 3 Ayat 1 UUD 1945 MPR amandemen mempunyai tugas dan wewenang sebagai berikut:
1. Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar.
2. Melantik presiden dan wakil presiden.
3. Memberhentikan presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut undang-undang dasar.
MPR bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun di ibu kota negara. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, anggota MPR mempunyai hak berikut ini:
• Mengajukan usul perubahan pasal-pasal undang-undang dasar.
• Menentukan sikap dan pilihan dalam pengambilan keputusan.
• Memilih dan dipilih.
• Membela diri.
• Imunitas.
• Protokoler.
• Keuangan dan administratif.
• Anggota MPR mempunyai kewajiban sebagai berikut.
• Mengamalkan Pancasila.
• Melaksanakan UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan.
• Menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia dan kerukunan nasional.
• Mendahulukan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi, kelompok, dan golongan.
• Melaksanakan peranan sebagi wakil rakyat dan wakil daerah.
2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
DPR merupakan lembaga perwakilan rakyat yang berkedudukan sebagai lembaga negara. Anggota DPR berasal dari anggota partai politik peserta pemilu yang dipilih berdasarkan hasil pemilu. DPR berkedudukan di tingkat pusat, sedangkan yang berada di tingkat provinsi disebut DPRD provinsi dan yang berada di kabupaten/kota disebut DPRD kabupaten/kota. Berdasarkan UU Pemilu N0. 10 Tahun 2008 ditetapkan sebagai berikut:
1. Jumlah anggota DPR sebanyak 560 orang.
2. Jumlah anggota DPRD provinsi sekurang-kurangnya 35 orang dan sebanyak-banyak 100 orang.
3. Jumlah anggota DPRD kabupaten/kota sedikitnya 20 orang dan sebanyak-banyaknya 50 orang.
Keanggotaan DPR diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPR berdomisili di ibu kota negara. Masa jabatan anggota DPR adalah lima tahun dan berakhir pada saat anggota DPR yang baru mengucapkan sumpah/janji. Sebelum memangku jabatannya, anggota DPR mengucapkan sumpah/ janji secara bersama-sama yang dipandu oleh Ketua Mahkamah Agung dalam sidang paripurna DPR. Lembaga negara DPR mempunyai fungsi berikut ini:
• Fungsi Legislasi. Fungsi legislasi artinya DPR berfungsi sebagai lembaga pembuat undang-undang.
• Fungsi Anggaran. Fungsi anggaran artinya DPR berfungsi sebagai lembaga yang berhak untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
• Fungsi Pengawasan. Fungsi pengawasan artinya DPR sebagai lembaga yang melakukan pengawasan terhadap pemerintahan yang menjalankan undang-undang.
DPR sebagai lembaga negara mempunyai hak-hak, antara lain sebagai berikut:
 Hak Interpelasi. Hak interpelasi adalah hak DPR untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas bagi kehidupan masyarakat.
 Hak Angket. Hak angket adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap suatu kebijakan tertentu pemerintah yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
 Hak Menyatakan Pendapat. Hak menyatakan pendapat adalah hak DPR untuk menyatakan pendapat terhadap kebijakan pemerintah mengenai kejadian yang luar biasa yang terdapat di dalam negeri disertai dengan rekomendasi penyelesaiannya atau sebagai tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket. Untuk memudahkan tugas anggota DPR maka dibentuk komisi-komisi yang bekerja sama dengan pemerintah sebagai mitra kerja.

3. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) merupakan lembaga negara baru yang sebelumnya tidak ada. DPD merupakan lembaga perwakilan daerah yang berkedudukan sebagai lembaga negara. DPD terdiri atas wakil-wakil dari provinsi yang dipilih melalui pemilihan umum.
Jumlah anggota DPD dari setiap provinsi tidak sama, tetapi ditetapkan sebanyak-banyaknya empat orang. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR. Keanggotaan DPD diresmikan dengan keputusan presiden. Anggota DPD berdomisili di daerah pemilihannya, tetapi selama bersidang bertempat tinggal di ibu kota Republik Indonesia. Masa jabatan anggota DPD adalah lima tahun. Sesuai dengan Pasal 22 D UUD 1945 maka kewenangan DPD, antara lain sebagai berikut:
 Dapat mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 Ikut merancang undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran, serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 Dapat memberi pertimbangan kepada DPR yang berkaitan dengan rancangan undang-undang, RAPBN, pajak, pendidikan, dan agama.
 Dapat melakukan pengawasan yang berkaitan dengan pelaksanaan undang-undang otonomi daerah, hubungan pusat dengan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, perimbangan keuangan pusat dengan daerah, pajak, pendidikan, dan agama.
4. Presiden dan Wakil Presiden
Presiden adalah lembaga negara yang memegang kekuasaan eksekutif. Maksudnya, presiden mempunyai kekuasaan untuk menjalankan pemerintahan. Presiden mempunyai kedudukan sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai kepala negara. Sebelum adanya amandemen UUD 1945, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, tetapi setelah amandemen UUD1945 presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan.
Presiden dan wakil presiden sebelum menjalankan tugasnya bersumpah atau mengucapkan janji dan dilantik oleh ketua MPR dalam sidang MPR. Setelah dilantik, presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan program yang telah ditetapkan sendiri. Dalam menjalankan pemerintahan, presiden dan wakil presiden tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Presiden dan wakil presiden menjalankan pemerintahan sesuai dengan tujuan negara yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
5. Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Agung merupakan lembaga negara yang memegang kekuasaan kehakiman. Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Agung adalah pengadilan tertinggi di negara kita. Perlu diketahui bahwa peradilan di Indonesia dapat dibedakan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara (PTUN). Kewajiban dan wewenang Mahkamah Agung, antara lain sebagai berikut:
 Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundangundangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang;
 Mengajukan tiga orang anggota hakim konstitusi;
 Memberikan pertimbangan dalam hal presiden memberi grasi dan rehabilitasi.
6. Mahkamah Konstitusi (MK)
Mahkamah Konstitusi adalah lembaga baru setelah adanya perubahan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Mahkamah Konstitusi berkedudukan di ibu kota negara.
Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang anggota hakim kontitusi yang ditetapkan dengan keputusan presiden. Susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota dan tujuh orang anggota hakim konstitusi. Ketua dan wakil ketua dipilih dari dan oleh hakim konstitusi untuk masa jabatan selama tiga tahun. Hakim konstitusi adalah pejabat negara. Sesuai dengan Pasal 24 C UUD 1945 maka wewenang dan kewajiban Mahkamah Konstitusi, antara lain sebagai berikut:
• Mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD;
• Memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD;
• Memutuskan pembubaran partai politik;
• Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum;
• Wajib memberikan putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia menurut UUD.
7. Komisi Yudisial (KY)
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang mempunyai wewenang berikut ini:
1. Mengusulkan pengangkatan hakim agung;
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Anggota Komisi Yudisial harus mempunyai pengetahuan dan pengalaman di bidang hukum serta memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela. Anggota Komisi Yudisial diangkat dan diberhentikan oleh presiden dengan persetujuan DPR. Anggota Komisi Yudisial terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan tujuh orang anggota. Masa jabatan anggota Komisi Yudisial lima tahun.
8. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
Kedudukan BPK sejajar dengan lembaga negara lainnya. Untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara diadakan satu Badan Pemeriksan Keuangan yang bebas dan mandiri. Jadi, tugas BPK adalah memeriksa pengelolaan keuangan negara.
9. Bank Indonesia (BI)
Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.
Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah:
• Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
• Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
• Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia.
Ketiganya perlu diintegrasi agar tujuan mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah dapat dicapai secara efektif dan efisien.
10. Komisi Pemilihan Umum (KPU)
Dalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum dan Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 tentang Pembentukan Komisi Pemilihan Umum dan Penetapan Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Umum Komisi Pemilihan Umum, dijelaskan bahwa untuk melaksanakan Pemilihan Umum, KPU mempunyai tugas kewenangan sebagai berikut :
1. merencanakan dan mempersiapkan pelaksanaan Pemilihan Umum;
2. menerima, meneliti dan menetapkan Partai-partai Politik yang berhak sebagai peserta Pemilihan Umum;
3. membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI dan mengkoordinasikan kegiatan Pemilihan Umum mulai dari tingkat pusat sampai di Tempat Pemungutan Suara yang selanjutnya disebut TPS;
4. menetapkan jumlah kursi anggota DPR, DPRD I dan DPRD II untuk setiap daerah pemilihan;
5. menetapkan keseluruhan hasil Pemilihan Umum di semua daerah pemilihan untuk DPR, DPRD I dan DPRD II;
6. mengumpulkan dan mensistemasikan bahan-bahan serta data hasil Pemilihan Umum;
7. memimpin tahapan kegiatan Pemilihan Umum.
8. Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1999 terdapat tambahan huruf:
9. tugas dan kewenangan lainnya yang ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
Sedangkan dalam Pasal 11 Undang-undang Nomor 3 Tahun 1999 tersebut juga ditambahkan, bahwa selain tugas dan kewenangan KPU sebagai dimaksud dalam Pasal 10, selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun setelah Pemilihan Umum dilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum.
11.Perkembangan Lembaga – lembaga Independen
Pada perkembangan – perkembangan baru yang terjadi di Indonesia di tengah – tengah keterbukaan gelombang demokratisasi di era reformasi, muncullah beberapa tingkatan. Tingkatan pertama, munculnya kesadaran yang kuat bahwa badan – badan Negara tertentu seperti organisasi Tentara, organisasi Kepolisian, Kejaksaan Agung, serta Bank Sentral harus dikembangkan secara independen. Independensi lembaga – lembaga tersebut diperlukan untuk kepentingan menjamin pembatasan kekuasaan dan demokratisasi yang efektif. Dari keempatnya, yang telah resmi menjadi lembaga independen adalah : Organisasi Tentara Nasional Indonesia ( TNI ), kepolisian Negara ( POLRI ), dan Bank Indonesia ( BI ). Sedangkan Kejaksaan Agung sampai sekarang belum menjadi lembaga independen.
Pada tingkatan kedua,  juga muncul beberapa lembaga khusus seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Ombudsman, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU), Komisi Pemeriksaan kekayaan Penyelenggara Negara ( KPKPN), Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) dan lain sebagiannya.
Dalam system ketatanegaraan, keberadaan  lembaga – lembaga independen tersebut harus di sertai dengan kedudukan dan peranan serata mekanisme yang jelas. Menurut Purnadi dan Soerjono Soekanto, perlu adanya status atau kedudukan yang menjadi subjek dalam Negara mencakup lembaga atau badan dan warganegara. Sementara itu, peranan mencakup kekuasaan, kebebasan/hak asasi, dan kewajiban terhadap kepentingan umum.
12. Komisi Nasional HAM (Komnas HAM)
Pada tahun 1993, melalui Keputusan Presiden No. 50, Presiden Soekarno mendirikan Komnas HAM. Tetapi pada awal pertumbuhan Komnas HAM, tidak bias dibilang layak dan imparsial dalam melakukan investigasi. Meskipun demikian paling tidak telah berperan penting dalam meredakan berbagai kritik yang ditunjukan oleh pemerintah, terutama yang berasal dari masyarakat Internasional. Enam tahun kemudian DPR mengesahkan UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang mengubah struktur dasar dan menambah kewenangan Komnas.
Menurut UU No, 39 Tahun 1999 Pasal 75, Komnas HAM berberfungsi :
a) Melakukan pengkajian dan penelitian dari instrumen hukum di Indonesia
b) Menangani kasus pelanggaran HAM.
c) Mengkaji peraturan negara seperti undang-undang, peraturan pemerintah, peraturan daerah dan produk hukum lainnya yang terkait dengan HAM.
d) Melakukan pemantauan dan penyelidikan yang mengandung unsur pelanggaran HAM.
e) Memediasi jika terjadi pelanggaran HAM.
Sedangkan, tujuannya :
a. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan hak asasi manusia sesuai dengan Pancasila, UUD 1945, dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
b. Meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
13. Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Kepolisian Negara (POLRI)
Dalam sejarahnya, TNI pernah digabungkan dengan POLRI. Gabungan ini disebut ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang menggunakan slogan "Catur Dharma Eka Karma" disingkat "CADEK". Sesuai Ketetapan MPR nomor VI/MPR/2000 tentang pemisahan TNI dan POLRI serta Ketetapan MPR nomor VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan peran POLRI maka pada tanggal 30 September 2004 telah disahkan RUU TNI oleh DPR RI yang selanjutnya ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada tanggal 19 Oktober 2004. (
Sesuai UU TNI Pasal 7 ayat (1), Tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 45, serta melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dari ancaman dan gangguan terhadap keutuhan bangsa dan negara. (2) Tugas pokok sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan:
1. operasi militer untuk perang
2. operasi militer selain perang, yaitu untuk:
a. mengatasi gerakan separatis bersenjata
b. mengatasi pemberontakan bersenjata
c. mengatasi aksi terorisme
d. mengamankan wilayah perbatasan
e. mengamankan obyek vital nasional yang bersifat strategis
Dalam pasal 30 ayat (4), adanya semacam “dwifungsi” tugas kepolisian,yaitu :
a. Alat Keamanan
1. Menjaga dan menjamin keamanan.
2. Menjaga dan menjamin ketertiban.
3. Menjaga dan menjamin ketentraman umum.
b. Penegak Hukum
1. Menyelidiki dan menyidik tindak pidana sebagai sebagian dari system penegakan hokum pidana terpadu.
14.Komisi Ombudsman
Ombudsman Republik Indonesia sebelumnya bernama Komisi Ombudsman Nasional adalah lembaga negara di Indonesia yang mempunyai kewenangan mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik baik yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara dan pemerintahan, termasuk yang diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dan Badan Hukum Milik Negara serta badan swasta atau perseorangan yang diberi tugas menyelenggarakan pelayanan publik tertentu yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Lembaga ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia yang disahkan dalam Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 9 September 2008.

8. DEMOKRASI INDONESIA
a. KONSEP DEMOKRASI
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung atau melalui perwakilan. Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu “demos” yang berarti “rakyat” dan “kratos” yang berarti kekuasaan. Istilah demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh Aristosteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato Gettysburg nya mendefiniskan demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dalam hal ini berarti bahwa kekuasaan tertinggi pemerintahan dipegang oleh rakyat.
- Bentuk-bentuk demokrasi
1. Demokrasi langsung merupakan suatu bentuk demokrasi dimana setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memilih pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi. Di era modern, sistem ini tidak praktis karena umumnya suatu populasi negara cukup besar dan mengumpulkan seluruh rakyat ke dalam satu forum tidaklah mudah, selain itu sistem ini menuntut partisipasi yang tinggi dari rakyat, sedangkan rakyat modern cenderung tidak memiliki waktu untuk mempelajari setiap permasalahan politik yang terjadi di dalam negara.
2. Demokrasi perwakilan (tidak langsung) merupakan demokrasi yang dilakukan oleh masyarakat dalam setiap pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka.


- Prinsip-prinsip Demokrasi
Prinsip demokrasi dan prasyarat berdirinya negara demokrasi telah terakomodasi dalam konstitusi Negara Kesatuan Repulik Indonesia. Prinsip-prinsip demokrasi dapat ditinjau dari pendapat Almadudi yang kemudian dikenal dengan “soko guru demokrasi”. Menurut Almadudi, prinsip demokrasi adalah :
• Kedaulatan rakyat.
• Pemerintahan berdasarkan persetujuan dari yang diperintah.
• Kekuasaan Mayoritas.
• Hak-hak minoritas.
• Jaminan Hak Asasi Manusia (HAM).
• Pemilihan yang adil, bebas, dan jujur.
• Persamaan di depan hukum.
• Proses hukum yang wajar.
• Pembatasan pemerintah secara kontitusional.
• Pluralisme ekonomi, politik, dan sosial.
• Nilai-nilai toleransi, pragtisme, kerja sama, dan mufakat.
Bentuk Demokrasi dalam Pemerintahan Negara
Ada dua bentuk demokrasi dalam sebuah pemerintahan negara, yaitu :
Pemerintahan Monarki (monarki mutlak, monarki konstitusional, monarki parlementer). Monarki berasal dari bahasa Yunani. Monos yang artinya Satu dan Archein artinya Pemerintah, jadi dapat di artikan sebagai sejenis pemerintahan dalam suatu negara yang di pimpin oleh satu orang (raja). Monarki dibagi ke dalam 3 jenis yaitu :
1. Monarki Mutlak : Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja dan bentuk kekuasaannya tidak terbatas.
2. Monarki Konstitusional : Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja namun kekuasaan raja dibatasi oleh konstitusi.
3. Monarki Parlementer : Monarki yang bentuk pemerintahan suatu negaranya dipimpin oleh raja namun kekuasaannya yang tertinggi berada ditangan parlemen.
Pemerintahan Republik, berasal dari bahasa latin RES yang artinya pemerintahan dan PUBLICA yang berarti rakyat. Dengan demikian dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh dan untuk kepentingan orang banyak.




b. SISTEM DAN PRAKTEK DEMOKRASI DI INDONESIA
Sistem dan praktik demokrasi di indonesia
         Dalam perkembangannya , paham negara hukum tidak dapat dipisahkan dari paham kerakyatan ( demokrasi ). Sebab pada akhirnya , hukum yang mengatur dan membatasi kekuasaan negara atau pemerintah diartikan sebagai hukum yang dibuat atas dasar kekuasaan atau kedaulatan rakyat.
Atas dasar demokratis , rechstaat dikatakan sebagai "negara kepercayaan timbal balik ( de staat van het wederzijdz vertrouwen )", yaitu kepercayaan dari rakyat pendukungnya bahwa kekuasaan yang diberikan tidak akan disalahgunakan dan kepercayaan dari penguasa bahwa dalam batas kekuasaannya dia mengharapkan kepatuhan dari rakyat pendukungnya.
Atas dasar sifat-sifat tersebut , yaitu liberal dan demokratis, ciri-ciri rechstaat adalah :
• Adanya undang-undang Dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;
• Adanya pembagian kekuasaan negara, yang meliputi: kekuasaan pembuatan undang-undang yang ada pada parlemen, kekuasaan kehakiman yang bebas tidak hanya menangani sengketa antara individu rakyat, tetapi juga antara penguasa dan rakyat, dan pemerintah yang mendasarkan tindakannya atas undang-undang ( wetmatig bestuur );
• Di akui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat ( vrijheidsrechten van de burger )

Mirriam Budiardjo (2008:127-128) menyatakan bahwa dipandang dari sudut perkembangan sejarah demokrasi Indonesia sampai masa Orde Baru dapat dibagi dalam 4 (empat) masa, yaitu:
• Masa pertama Republik Indonesia (1945-1959) yang dinamakan masa demokrasi konstitusional yang menonjolkan peranan parlemen dan partai-partai dan karena itu dinamakan Demokrasi Parlementer Terpimpin yang banyak aspek menyimpang dari demokrasi konstitusional yang secara formal merupakan landasannya dan menunjukkan beberapa aspek demokrasi kepentingan
• Masa ketiga Republik Indonesia (1965-1998) yaitu masa demokrasi Pancasila yang merupakan demokrasi konstitusional yang menonjolkan sistem presidensiil
• Masa keempat Republik Indonesia (1998-sekarang) yaitu masa reformasi yang menginginkan tegaknya demokrasi di Indonesia sebagai koreksi terhadap praktik-praktik politik yang terjadi pada masa ketiga Republik Indonesia.

Pada masa pasca kejatuhan rezim otoriter, salah satu tahap demokrasi yang paling krusial adalah "konsolidasi". Larry Diamond mendefinisikan konsolidasi sebagai tahap di mana para aktor politik (di lingkaran elit maupun massa) dalam jumlah yang signifikan meyakini bahwa demokrasi merupakan satu-satunya norma dan instrumen politik yang secara realistis dapat diberlakukan. Sementara itu, Juan Linz dan Alfred Stepan menyatakan bahwa suatu masyarakat dapat dikatakan telah mencapai tahap konsolidasi jika pihak-pihakyang terlibat dalam kompetisi politik (untuk memperebutkan kekuasaan di pemerintahan maupun legislatif) menyakini bahwa demokrasi (termasuk sistem hukum, lembaga dan prosedur yang menyertainya) merupakan satu-satunya aturan main yang berlaku (the only game in town), yakni satu-satunya kerangka yang mengatur pencapaian kepentingan.

c. SISTEM DAN PELAKSANAAN PEMILU DI INDONESIA
Menurut Hungtinton (dalam Sahdan 2004:379) dalam setiap sistem politik yang demokratis, selalu mempersoalkan sumber kekuasaan yang melandasi sebuah pemerintahan baru terbentuk, untuk tujuan apa kekuasaan itu ditetapkan dan prosedur apa yang memberikan legalitas terhadap kekuasaan tersebut. Dalam masyarakat transisi, Pemilu merupakan suatu konsensus bersama untuk menjawab persoalan sumber kekuasaan, tujuan kekuasaan dan prosedur yang melegalitasi kekuasaan itu sendiri. Dalam konteks ini, Pemilu memiliki tiga nilai utama:
Pertama, Pemilu sebagai “tanda” berakhirnya rezim non demokratik. Pelaksanaan Pemilu bertujuan untuk “pelembagaan demokrasi” dan pembangunan kembali kohesi sosial yang telah retak yang disebabkan oleh terjadinya tarik menarik dukungan dan penolakan antara berbagai kelompok sosial dalam masyarakat.
Kedua, Pemilu memiliki makna pelantikan pemerintahan baru atau rezim demokratik yang menggantikan pemerintahan otoriter yang telah tumbang. Variabel-variabel pengukur Pemilu disini adalah sejauh mana partisipasi berbagai kelompok sosial, individu dan masyarakat secara umum terlibat di dalam Pemilu, dan apakah hak-hak politik masyarakat benar-benar dijamin dengan kejujuran, kebebasan dan keadilan dalam Pemilu atau apakah Pemilu dijalankan dengan demokratis atau tidak untuk membedakannya dengan pemilu-pemilu sebelumnya.
Ketiga, dalam era transisi, Pemilu merupakan perwujudan dari konsulidasi sistem demokrasi yaitu suatu usaha untuk menjaga secara ketat kembalinya rezim status quo untuk menduduki kursi kekuasaan.

- Pemilu Pada Masa Demokrasi Parlementer
Pada masa ini pemilu dilaksanakan oleh kabinet Baharuddin Harahap pada tahun 1955. Pada pemilu ini pemungutan suara dilakukan dua kali yaitu yang pertama untuk memilih anggota DPR pada bulan September dan yang kedua untuk memilih anggota Konstituante pada bulan Desember. Sistem yang digunakan pada masa ini adalah sistem proporsional.
Dalam pelaksanaannya berlangsung dengan khidmat dan sangat demokratis tidak ada pembatasan partai-partai dan tidak ada usaha dari pemerintah mengadakan intervensi terhadap partai kampanye berjalan seru. Pemilu menghasilkan 27 partai dan satu perorangan berjumlah total kursi 257 buah.
Namun stabilitas politik yang sangat diharapkan dari pemilu tidak terwujud. Kabinet Ali (I dan II) yang memerintah selama dua tahun dan yang terdiri atas koalisi tiga besar: Masyumi, PNI, dan NU ternyata tidak kompak dalam menghadapi beberapa persoalan terutama yang terkait dengan konsepsi Presiden Soekarno zaman Demokrasi  Parlementer berakhir.

Pemilihan umum merupakan salah satu program beberapa kabinet, tetapi karena umur kabinet pada umumnya singkat program itu sulit dilakukan. Setelah Peristiwa 17 Oktober 1952, pemerintah berusaha keras untuk melaksanakannya. Dalam suasana liberal, PEMILU diikuti oleh puluha partai, organisasi maupun perorangan. Anggota ABRI pun ikut serta memilih. Pada tanggal 15 Desember 1955 pemilihan dilaksanakan dengan tenang dan tertib. Ada empat partai yang memenangkan Pemilu, yaitu Masyumi, PNI, Nahdatul Ulama, dan PKI. Namun pada prakteknya, kedua lembaga (DPR dan Konstituante) tidak memberikan hasil seperti yang diharapkan. DPR tetap sebagai tempat perebutan pengaruh dan kursi pemerintahan, sedangkan konstituante setelah lebih dari dua tahun belum juga dapat menghasilkan UUD baru untuk menggantikan UUDS.
UU No. 7 Tahun 1953 tentang Pemilu. UU inilah yang menjadi payung hukum Pemilu 1955 yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas dan rahasia. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang diubah dengan UU No. 12 tahun 1949 yang mengadopsi pemilihan bertingkat (tidak langsung) bagi anggota DPR tidak berlaku lagi.
Berdasarkan Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tersebut, maka pada bulan Septamber 1955 telah dilakukan Pemilihan Umum untuk memilih anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), selanjutnya dalm bulan Desember 1955 telah pula diselenggarakan Pemilihan Umum, umtuk memilih anggota-anggota Konstituante, yang pelantikannya dilakukan pada hari tanggal 10 November 1956.

- Pemilu Pada Masa Demokrasi Terpimpin
Demokrasi Terpimpin berlaku di Indonesia antara tahun 1959-1966, yaitu dari dikeluarkannya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 hingga Jatuhnya kekuasaan Sukarno. Disebut Demokrasi terpimpin karena demokrasi di Indonesia saat itu mengandalkan pada kepemimpinan Presiden Sukarno. Terpimpin pada saat pemerintahan Sukarno adalah kepemimpinan pada satu tangan saja yaitu presiden.
Pada periode ini sering juga disebut dengan Orde Lama. UUD yang digunakan adalah UUD 1945 dengan sistem Demokrasi Terpimpin. Menurut UUD 1945 presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, presiden dan DPR berada di bawah MPR. Pengertian demokrasi terpimpin pada sila keempat Pancasila adalah dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, akan tetapi presiden menafsirkan “terpimpin”, yaitu pimpinan terletak di tangan ‘Pemimpin Besar Revolusi”. Dengan demikian pemusatan kekuasaan di tangan presiden. Terjadinya pemusatan kekuasaan di tangan presiden menimbulkan penyimpangan dan penyelewengan terhadap Pancasila dan UUD 1945 yang puncaknya terjadi perebutan kekuasaan oleh PKI pada tanggal 30 September 1965 (G30S/PKI) yang merupakan bencana nasional bagi bangsa Indonesia.
Setelah pencabutan maklumat pemerintah pada November 1945 tentang keleluasaan paratai politik, Presiden Soekarno mengurangi jumlah partai politik menjadi 10 parpol. Pada periode demokrasi Terpimpin tidak diselenggarakan pemilihan umum.
- Pemilu Pada Masa Demokrasi Pancasila
Setelah runtuhnya rezim Demokrasi Terpimpin yang semi-otoriter, masyarakat menaruh harapan untuk dapat mendirikan suatu sistem politik yang demokrati dan stabil. Usaha yang dilakukan untuk mencapai harapan tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan tentang sistem distrik yang masih baru bagi bangsa Indonesia.
Pendapat yang dihasilkan dari seminar tersebut menyatakan bahwa sistem distrik dapat mengurangi jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan harapan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam usaha meraih kursi dalam suatu distrik. Berkurangnya jumlah partai politik diharapkan akan membawa stabilitas politik dan pemerintah akan lebih berdaya untuk melaksanakan kebijakan-kebijakannya, terutama di bidang ekonomi.
Pengalaman kepartaian dan pemerintahan parlementer pada dasawarsa 1950’an menghasilkan beberapa pandangan populer pada awal orde baru dan berlanjut ketahun-tahun selanjutnya. Berbagai kebijakan pemerintah yang sebagian besar diantaranya dirumuskan dalam bentuk perundang-undangan. Selaras dengan itu pemerintahan orde baru melibatkan diri dalam menyeleksi kepemimpinan partai-partai politik. Kemudian partai-partai politik tersebut, sebanyak sembilan buah pada pemilu 1971, dikalahkan Sekber Golkar, organisasi politik dukungan pemerintah. Setelah dikalahkan, kesembilan partai didesak supaya mengadakan fusi menjadi dua partai baru, yakni Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI). PPP adalah gabungan dari Nahdlatul Ulama NU,Partai Syarrikat Islam Indonesia(PSII), Partai Persatuan Tarbiyah Islam(Perti), dan Partai Muslimin Indonesia(Parmusi). Sedangkan PDI adalah gabungan dari Partai Nasional Indonesia(PNI), Partai Kristen Indonesia(Parkindo), Partai Katolik, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia(IPKI), dan Murba. Melalui kebijakan “asas tunggal” kedua partai tersebut beserta organisasi-organisasi politik dan kemasyarakatan lainnya harus mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya asas. Sebelumnya, melaui politik “masa mengambang” pemerintah telah melarang aktivitas partai politik didesa untuk menghilangkan politik partisipan diluar periode kampanye pemilu.[4] Golkar pada mulanya disebut sebagai Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang organisasi-organisasi masyarakat dan angkatan bersenjata, muncul satu tahun sebelum sebelum meletusnya pemberontakan G30 S/PKI, tepatnya Golkar lahir pada tanggal 20 oktober 1964. Dan tidak dapat disangkal bahwa organisasi ini lahir dari pusat dan dijabarkan sampai kedaerah-daerah.
Disamping itu untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir pada tanggal 29 November 1971 ikut menggabungkan diri kedalam Golkar. Golkar inilah kemudian dijadikan kendaraan oleh Soeharto untuk mendukung kekuasaanya selama 32 tahun.

- Pemilu Pada Masa Reformasi
Pemerintahan Habibie sebenarnya memang tidak sama dengan pemerintah Soeharto, bagimanapun Habibie mengucapkan sebagai murid Soeharto beliau adalah seorang demokratis yang ilmuan, dimasanya para tahanan politik dibebaskan dan dimasanya untuk pertama kali Pemilu dilangsungkan secara demokratis melebihi Pemilu 1955.
Pemilu 1999 diikuti oleh 48 partai yang bersaing ketat walaupun hanya 21 partai yang mendapat bagian kursi di DPR RI
Reformasi membawa beberapa perubahan fundamental. Pertama, dibuka kesempatan kembali untuk bergeraknya partai politik secara bebas, termasuk mendirikan partaibaru. Ketentuan ini kemudian tercermin dalam pemilihan umum 1999 yang diselenggarakan dengan disertai banyak partai. Kedua, pada pemilihan umum 2004 untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia diadakan pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung, sebelumnya presiden dan wakil presiden dipilih melalui MPR. Ketiga, diadakan pemilihan untuk suatu badan baru, yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang mewakili kepentingan daerah secara khusus. Keempat, diadakan “electoral threshold”, yaitu ketentuan bahwa untuk pemilihan legislative setiap partai harus meraih minimal 3% jumlah kursi anggota badan legislative pusat. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden, partai politik harus memperoleh minimal 3% jumlah kursi dalam badan yang bersangkutan atau 5% dari perolehan suara sah secara nasional.
Pemilihan umum 1999 diikuti 3 partai Orde Baru, ditambah sejumlah partai baru, sehingga total berjumlah 48 partai; yang kemudian berhasil masuk DPR adalah 21 partai. Sistem pemilihan umum yang dipakai tidak terlalu berbeda dengan yang dipakai pada pemilihan-pemilihan umum sebelumnya. Landasan hukumnya adalah UU No. 2 tahun 1999.
Pada tahun 2004 diadakan 3 kali pemilihan umum, yaitu pertama pemilihan legislatif, sekaligus pemilhan anggota DPD; kedua, pemilihan presiden dan wakil presiden putaran pertama; ketiga, pemilihan presiden dan wakil presiden putaran kedua.
Pemilihan umum legislative dilaksanakan berdasarkan UU No. 12 tahun 2003, dan diikuti 24 partai, tujuh diantaranya masuk DPR, yaitu Golkar, PDIP, PPP, PKB, Partai Demokrat, PKS dan PAN.
Pada pemilihan umum presiden dan wakil presiden secara langsung tahun 2004 diselenggarakan dengan system dua putaran. Artinya, kalau pada putaran pertama tidak ada calon yang memperoleh suara minimal yang ditentukan, akan diadakan putaran kedua dengan peserta dua pasang calon yang memperoleh suara terbanyak. Yang menjadi tujuan pokok adalah adanya pasangan calon yang terpilih yang mempunyai legitimasi kuat dengan perolehan suara 50% plus satu (mayoritas mutlak). Seandainya pada putaran kedua tidak ada yang memperoleh suara 50% plus satu, yang akan dijadikan pertimbangan untuk menetukan pemenang adalah kemerataan dukungan suara ditingkat provinsi ataupun kabupaten/kota.
- Sistem Pelaksanaan Pemilu Di Indonesia
Di Indonesia telah berulang kali dilangsungkan pemilihan umum yang disebut sebagai pesta demokrasi Pancasila Rakyat Indonesia. Baik sewaktu orde lama, orde baru, dan reformasi. Umumnya ada dua sistem pelaksanaan Pemilihan Umum yang dipakai, yaitu sebagai berikut :
- Sistem Distrik
Sistem ini diselenggarakan berdasarkan lokasi daerah pemilihan, dalam arti tidak membedakan jumlah penduduk, tetapi tempat yang sudah ditentukan.
Sistem ini merupakan sistem pemilihan umum yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan geografis. Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi) mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu, negara dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang di dalam satu distrik memperoleh suara terbanyak dikatakan pemenang, sedangkan suara-suara yang ditujukan kepada calon-calon lain dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi, bagaimanapun kecilnya selisih kekalahannya.
- Keuntungan Sistem Distrik dapat dilihat yaitu :
Sistem ini lebih mendorong ke arah integrasi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama, sekurang-kurangnya menjelang pemilihan umum, antara lain melalui stembus accord.
Fragmentasi partai dan kecenderungan membentuk partai baru dapat dibendung; malahan sistem ini bisa mendorong ke arah penyederhanaan partai secara alami dan tanpa paksaan.
Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh komunitasnya, sehingga hubungan denga konstituen lebih erat. Dengan demikian si wakil akan lebih cenderung untuk memperjuangkan kepentingan distriknya.
Bagi partai besar system ini menguntungkan karena melalui distortion effect dapat meraih suara dari pemilih-pemilih lain, sehingga memperoleh kedudukan mayoritas. Dengan demikian, sedikit banyak partai pemenang dapat mengendalikan parlemen.
Lebih mudah bagi suatu partai untuk mencapai kedudukan mayoritas dalam parlemen, sehingga tidak perlu diadakan koalisi dengan partai lain. hal ini mendukung stabilitas nasional.
Sistem ini sederhana dan mudah untuk diselenggarakan.
Selain itu sistem Distrik juga mempunyai kelemahan yaitu :
System ini kurang memperhatikan kepentingan partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi jika golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa partai yang calonnya kalah dalam suatu distrik kehilangan suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, atau terbuang sia-sia. Dan jika banyak partai mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil terhadap partai dan golongan yang dirugikan.
Sistem distrik dian  ggap kurang efektif dalam masyarakat yang plural karena terbagi dalam kelompok etnis, religius, dan tribal, sehingga menimbulkan anggapan bahwa kebudayaan nasional yang terpadu secara ideologis dan etnis mungkin merupakan prasyarat bagi suksesnya sistem ini.
Ada kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memperhatikan kepentingan distrik serta warga distriknya, daripada kepentingan nasional.
Sistem Proporsional (Perwakilan Berimbang)
Sistem ini didasari jumlah penduduk yang akan menjadi peserta pemilih. Misalnya setiap 40.000 penduduk pemilih memperoleh satu wakil (suara berimbang), sedangkan yang dipilih adalah kelompok orang yang diajukan kontestan pemilu yaitu partai politik. Pemilu tidaklah langsung memilih calon yang didukungnya, karena para calon ditentukan berdasarkan nomor urut calon-calon dari masing-masing parpol atau organisasi social politik (orsospol). Para pemilih adalah memilih tanda gambar atau lambang suatu parpol. Perhitungan suara untuk menentukan jumlah kursi raihan masing-m,asing orsospol, ditentukan melalui pejumlahan suara secara nasional atau penjumlahan pada suatu daerah (provinsi). Masing-masing daerah diberi jatah kursi berdasarkan jumlah penduduk dan kepadatan penduduk di daerah yang bersangkutan.[5]  Banyak atau sedikitnya kursi yang diraih adalah ditentukan oleh jumlah suara yang diraih masing-masing parpol atau orsospol peserta pemilihan umum. Calon terpilih untuk menjadi wakil rakyat duitenukan berdasarkan  nomor urut calon yang disusun guna mewakili orsospol pada masing-masing daerah. Inilah yang disebut perhitungan suara secara proporsional, bukan menurut distrik pemilihan (yang pada setiap distrik hanya aka nada satu calon yang terpilih). Kelebihan Sistem Proporsional yaitu :

Dianggap lebih representative karena persentase perolehan suara setiap partai sesuai dengan persentase perolehan kursinya di parlemen. Tidak ada distorsi antara perolehan suara dan perolehan kursi.
Setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan minoritas diberi kesempatan untuk menempatkan wakilnya di parlemen. Karena itu masyarakat yang heterogen dan pluralis lebih tertarik pada system ini.

Sedangkan Sistem Proporsional juga mempunyai kelemahan yaitu :
Kurang mendorong partai-partai yang berintegrasi satu sama lain, malah sebaliknya cenderung mempertajam perbedaan-perbedaan diantara mereka. Bertambahnya jumlah partai dapat menghambat proses integrasi diantara berbagai golongan di masyarakat yang sifatnya pluralis. Hal ini mempermudah fragmenrasi dan berdirinya partai baru yang pluralis.
Wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituennya, tetapi lebih erat dengan partainya (termasuk dalam hal akuntabilitas). Peranan partai lebih menonjol daripada kepribadian seorang wakil rakyat. Akibatnya, system ini member kedudukan kuat kepada pimpinan partai untuk menentukan wakilnya di parlemen melaluin Stelsel daftar (List System).
Banyaknya partai yang bersaing mempersukar satu partai untuk mencapai mayoritas di parlemen. Dalam system pemerintahan parlementer, hal ini mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil karena harus mendasarkan diri pada koalisi.





9. AZAS – AZAS KEWARGANEGARAAN DAN HAM
a. AZAS – AZAS KEWARGANEGARAAN
- PENGERTIAN BERDASARKAN AZAS KEWARGANEGARAAN
Pengertian asas kewarganegaraan adalah dasar hukum bagi kewarganegaraan untuk penduduk (warga) sebuah negara.
Secara umum ada 2 asas kewarganegaraan yang diterapkan oleh suatu negara, yaitu:
1. Ius Sanguinis
Asas ius sanguinis atau asas keturunan yang menetapkan kewarganegaraan seseorang menurut keturunan atau pertalian darah. Artinya, kewarganegaraan anak bergantung pada orang tuanya meskipun anak tersebut lahir di negara lain (bukan kewarganegaraan orang tuanya). Misalkan, seorang anak dilahirkan di negara B yang menganut asas ius sanguinis, sedangkan orang tuanya warga negara A, maka anak tersebut tetap menjadi warga negara A.
Contoh Negara dengan Sistem Asas Kewarganegaraan Ius Sanguinis :
Belanda, Belgia, Bulgaria, Korea Selatan, Kroasia, Inggris, Irlandia, Islandia, India, Italia ,Jepang, Jerman, Polandia, Portugal, Republik Ceko, Rusia, Spanyol, Serbia, dll.
2. Ius Soli
Asas ius soli atau asas tempat kelahiran yang menetapkan kewarganegaraan seseorang menurut tempat kelahirannya. Artinya kewarganegaraan anak akan diberikan jika anak tersebut lahir di negara yang menganut asas ius soli. Misalnya, seorang anak harus menjadi warga negara B karena lahir di negara B, meskipun orang tuanya warga negara A.
Contoh Negara dengan Sistem Asas Kewarganegaraan Ius Soli :
Argentina, Amerika Serikat, Brazil, Bangladesh, Kanada, Kamboja, Kolombia, Kosta Rika, Panama, Peru, Pakistan, Paraguay, Grenada, Guatemala, Guyana, dll


- CARA MEMPEROLEH KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN UU NO 12/2006

Cara Memperoleh Kewarganegaraan Republik Indonesia
Menurut UU No. 12 Tahun 2006
1. Melalui Kelahiran
a. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu warga
Negara Indonesia
b. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah WNI dan ibu warga
Negara asing
c. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga Negara
asing dan ibu WNI
d. anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI, tetapi
ayahnya tidak mempunyai kewarganegaraan atau hokum Negara asal ayahnya tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut.
e. Anak yang lahir dalam tenggang waktu 300 hari setelah ayahnya meninggal
dunia dari perkawinan yang sah dan ayahnya WNI
f. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNI
g. Anak yang lahir diluar perkawinan yang sah dari seorang ibu WNA yang diakui
oleh seorang ayah WNI sebagai anaknya dan pengakuan itu dilakukan sebelum
anak tersebut berusia 18 ( delapan belas ) tahun atau belum kawin
h. Anak yang lahir di wilayah NKRI yang pada waktu lahir tidak jelas status
kewarganegaraan ayah dan ibunya
i. Anak yang baru lahir ditemukan di wilayah NKRI selama ayah dan ibunya tidak
diketahui
j. Anak yang lahir di wilayah NKRI apabila ayah dan ibunya tidak mempunyai
kewarganegaraan atau tidak diketahui keberadaannya
k. Anak yang dilahirkan diluar wilayah NRI dari seorang ayah dan ibu WNI yang
karena ketentuan dari Negara tempat aanak tersebut dilahirkan tidak
memberikan kewarganegaraan kepada anak yang bersangkutan.
l. Anak WNI yang lahir diluar perkawinan yang sah, belum berusia 18 ( delapan
belas ) tahun atau belum kawin diakui secara sah oleh ayahnya yang
berkewarganegaraan asing tetap diakui sebagai WNI
m. Anak WNI yang belum berusia 5 ( lima ) diangkat secara sah sebagai anak oleh
WNA berdasarkan penetapan pengadilan tetaop diakui sebagai WNI

2. Melalui Pengangkatan
a. diangkat sebagai anak oleh WNI
b. pada waktu pengangkatan itu ia belum berumur 5 tahun
c. pengangkatan anak itu memperoleh penetapan pengadilan
3. Melalui Pewarganegaraan
a. telah berusia 18 tahun atau sudah kawin
b. pada waktu pengajuan permohonan sudah bertempat tinggal di wilayah NRI
paling sedikit 5 tahun berturut – turut atau paling singkat 10 tahun tidak
berturut – turut.
c. Sehat jasmani dan rohani
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui dasar Negara Pancasila dan UUD 1945
e. Tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih
f. Jika dengan memperoleh kewarganegaraan RI, tidak menjadi berkewarganegaraan
ganda
g. Mempunyai pekerjaan dan/ atau penghasilan tetap
h. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara
i. Orang asing yang telah berjasa kepada NRI atau karena alas an kepentingan
Negara.

4. Melalui perkawinan
a. warga Negara asing yang kawin secara sah dengan WNI
b. menyampaikan pernyataan menjadi warga Negara di hadapan pejabat

B. HAK ASASI MANUSIA
- Sejarah Perkembangan HAM
SEJARAH PERKEMBANGAN  HAK ASASI MANUSIAINTERNASIONAL
      Pada umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam hukum bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.
      Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan demokrasi. kemudian berkembang lagi dengan lahirnya teori Roesseau(tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jeffersondi Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.
Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham Roesseau dan Montesqueu. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.
      Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakah tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat),freedom of religion (bebas menganut keyakinan/agama yang dikehendaki), the right of property (perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya.
Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :
"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world."
Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declarationof Human Rightsyang diciptakan oleh PBB pada tahun 1948.

SEJARAH PERKEMBANGAN HAK ASASI MANUSIA NASIONAL
      Deklarasi HAM yang dicetuskan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 10 Desember 1948, tidak berlebihan jika dikatakan sebagai puncak peradaban umat manusia setelah dunia mengalami malapetaka akibat kekejaman dan keaiban yang dilakukan negara-negara Fasis dan Nazi Jerman dalam Perang Dunia II.
      Deklarasi HAM sedunia itu mengandung makna ganda, baik ke luar (antar negara-negara) maupun ke dalam (antar negara-bangsa), berlaku bagi semua bangsa dan pemerintahan di negara-negaranya masing-masing. Makna ke luar adalah berupa komitmen untuk saling menghormati dan menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan antar negara-bangsa, agar terhindar dan tidak terjerumus lagi dalam malapetaka peperangan yang dapat menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan. Sedangkan makna ke dalam, mengandung pengertian bahwa Deklarasi HAM sedunia itu harus senantiasa menjadi kriteria objektif oleh rakyat dari masing-masing negara dalam menilai setiap kebijakan yang dikelauarkan oleh pemerintahnya.
Bagi negara-negara anggota PBB, Deklarasi itu sifatnya mengikat. Dengan demikian setiap pelanggaran atau penyimpangan dari Deklarasi HAM sedunia si suatu negara anggota PBB bukan semata-mata menjadi masalah intern rakyat dari negara yang bersangkutan, melainkan juga merupakan masalah bagi rakyat dan pemerintahan negara-negara anggota PBB lainnya. Mereka absah mempersoalkan dan mengadukan pemerintah pelanggar HAM di suatu negara ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM internasional lainnya unuk mengutuk bahkan menjatuhkan sanksi internasional terhadap pemerintah yang bersangkutan.
Adapun hakikat universalitas HAM yang sesungguhnya, bahwa ke-30 pasal yang termaktub dalam Deklarasi HAM sedunia itu adalah standar nilai kemanusiaan yang berlaku bagi siapapun, dari kelas sosial dan latar belakang primordial apa pun serta bertempat tinggal di mana pun di muka bumi ini. Semua manusia adalah sama. Semua kandungan nilai-nilainya berlaku untuk semua.
 
Di Indonesia HAM sebenarnya telah lama ada. Sebagai contoh, HAM di Sulawesi Selatan telah dikenal sejak lama, kemudian ditulis dalam buku-buku adat (Lontarak). Antara lain dinyatakan dalam buku Lontarak (Tomatindo di Lagana) bahwa apabila raja berselisih faham dengan Dewan Adat, maka Raja harus mengalah. Tetapi apabila para Dewam Adat sendiri berselisih, maka rakyatlah yang memustuskan. Jadi asas-asas HAM yang telah disorot sekarang, semuanya sudah diterapkan oleh Raja-Raja dahulu, namun hal ini kurang diperhatikan karena sebagian ahli hukum Indonesia sendiri agaknya lebih suka mempelajari teori hukum Barat. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa HAM sudah lama lahir di Indonesia, namun dalam perkembangannya tidak menonjol karena kurang dipublikasikan.
     Human Rights selalu terkait dengan hak individu dan hak masyarakat. Ada yang bertanya mengapa tidak disebut hak dan kewajiban asasi. Juga ada yang bertanya mengapa bukan Social Rights. Bukankan Social Rights mengutamakan masyarakat yang menjadi tujuan ? Sesungguhnya dalam Human Rights sudah implisit adanya kewajiban yang harus memperhatikan kepentingan masyarakat. Demikian juga tidak mungkin kita mengatakan ada hak kalau tanpa kewajiban. Orang yang dihormati haknya berkewajiban pula menghormati hak orang lain. Jadi saling hormat-menghormati terhadap masing-masing hak orang. Jadi jelaslah kalau ada hak berarti ada kewajiban. Contoh : seseorang yang berhak menuntut perbaikan upah, haruslah terlebih dahulu memenuhi kewajibannya meningkatkan hasil kerjanya. Dengan demikian tidak perlu dipergunakan istilah Social Rights karena kalau kita menghormati hak-hak perseorangan (anggota masyarakat), kiranya sudah termasuk pengertian bahwa dalam memanfaatkan haknya tersebut tidak boleh mengganggu kepentingan masyarakat. Yang perlu dijaga ialah keseimbangan antara hak dan kewajiban serta antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan umum (kepentingan masyarakat). Selain itu, perlu dijaga juga keseimbangan antara kebebasan dan tanggungjawab. Artinya, seseorang memiliki kebebasan bertindak semaunya, tetapi tidak memperkosa hak-hak orang lain. Ada yang mengatakan bahwa pelaksanaan HAM di Indonesia harus sesuai dengan latar belakang budaya Indonesia. Artinya, Universal Declaration of Human Rights kita akui, hanya saja dalam implementasinya mungkin tidak sama dengan di negara-negara lain khususnya negara Barat yang latar belakang sejarah dan budayanya berbeda dengan kita. Memang benar bahwa negara-negara di dunia (tidak terkecualai Indonesia) memiliki kondisi-kondisi khusus di bidang politik, sosial, ekonomi, budaya dan lain sebagainya, yang bagaimanapun, tentu saja berpengaruh dalam pelaksanaan HAM. Tetapi, tidak berarti dengan adanya kondisi yang bersifat khusus tersebut, maka prinsip-prinsip mendasar HAM yang universal itu dapat dikaburkan apalagi diingkari. Sebab, universalitas HAM tidak identik dengan "penyeragaman". Sama dalam prinsip-prinsip mendasar, tetapi tidak mesti seragam dalam pelaksanaan. Disamping itu, apa yang disebut dengan kondisi bukanlah sesuatu yang bersifat statis. Artinya, suatu kondisi tertentu tidak dapat dipergunakan sebagai patokan mutlak. Kondisi itu memiliki sifat yang berubah-ubah, dapat dipengaruhi dan diciptakan dari waktu ke waktu.



b.  HAK ASASI MANUSIA

HAM di Indonesia bersumber dan bermuara pada Pancasila, yang artinya bahwa HAM adalah menjadi jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa. Beberapa instrument HAM yang ada di Indonesia antara lain yaitu Undang - Undang Dasar 1945, Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Undang – Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM . HAM dapat meliputi Hak – hak asasi pribadi (personal rights) yang meliputi kebebasan menyatakan pendapat, kebebasan memeluk agama, dan kebebasan bergerak. Hak – hak asasi ekonomi (property rights) yang meliputi hak untuk memiliki sesuatu, hak untuk membeli dan menjual serta memanfaatkannya. Hak – hak asasi politik (political rights) yaitu hak untuk ikut serta dalam pemerintahan, hak pilih (dipilih dan memilih dalam pemilu) dan hak untuk mendirikan partai politik. Hak asasi untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam hukum dan pemerintahan ( rights of legal equality). Hak – hak asasi sosial dan kebudayaan ( social and culture rights). Misalnya hak untuk memilih pendidikan dan hak untuk mengembangkan kebudayaan. Dan hak asasi untuk mendapatkan perlakuan tata cara peradilan dan perlindungan (procedural rights). Misalnya peraturan dalam hal penahanan, penangkapan, penggeledahan, dan peradilan.


Namun seperti kita ketahui bersama, pelaksanaannya masih sangat jauh dari apa yang diharapkan oleh semua rakyat Indonesia, masih banyak terjadi pelanggaran - pelanggaran HAM yang terjadi di negeri kita ini baik itu atas nama negara atau institusi tertentu .Namun apakah disengaja ataupun tidak , negara (dalam hal ini yaitu Komnas HAM) sepertinya sangat lamban untuk mengungkap dan mengupas secara detail kasus – kasus pelanggaran HAM yang terjadi baik itu kasus yang disorot media ataupun yang tidak terlalu disorot . Apalago disaat Orde baru berkuasa , terlalu banyak kasus – kasus pelanggaran HAM yang belum bisa terungkap dan tertutupi awal tebal oleh konspirasi pihak elite kekuasaan pada saat itu dan diterusakan saat ini . Dimulai sejak Soeharto menjabat sebagai presiden sampai Soeharto lengser dalam peristiwa Mei 1998 oleh para Mahasiswa banyak sekali peristiwa – peristiwa atau kasus – kasus dilakukan pemerintah yang sangat melanggar HAM, beberapa contoh peristiwa atau kejadian dari pelanggaran HAM yang dilakukan yaitu pada tahun 1965 dimana Penculikan dan pembunuhan terhadap tujuh jendral Angkatan Darat dan Penangkapan, penahanan dan pembantaian massa pendukung dan mereka yang diduga sebagai pendukung Partai Komunis Indonesia. Lalu dilanjutkan pada tahun 1966, pada tahun ini terjadi penangkapan dan pembunuhan tanpa pengadilan  terhadap anggota – anggota PKI yang masih terus berlagsung . Hal ini sangat melanggar HAM, namun mengaa pemerintah seperti tidak tahu - menahu tentang hal tersebut, munkin pada saat itu ada konfrontasi besar yang ingin dilakukan oleh Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya, terbukti dengan konfrontasi itu Soeharto dapat memimpin Indonesia selama 36 tahun lamanya, mungkin bila ada pemilihan siapa politikus paling pintar di Indonesia atau bahkan di Asia, Soeharto lah orangnya, karena dia seolah memimpin Indonesia tanpa cacat di mata dunia. Benar memang asa hukum retroaktif tidak dapat diterapkan, namun ini menyangkut kemashlahatan masyarakat kita sendiri, terlebih untuk keluarga – keluarga atau keturunan dari korban – korban dari pelanggaran HAM tersebut agar supaya mereka mendapatkan haknya yang direnngut pemerintah kembali. Kembali ke masalah HAM di Indonesia, mengapa pelanggaran HAM di Indonesia masih saja terjadi dari tahun ke tahun dan juga sampai saat ini masih sering terjadi pelanggaran HAM itu, apakah pemerintah terlalu tegas menindak oknum atau institusi yang menentang kekuasaannya ataukah memang masyarakat kita yang terlalu anarkis sehingga pemerintah terpaksa melakukan tindakan progresif untuk mengendalikannya. Mungkin semua itu dapat kita kendalikan jika tidak ada tindakan – tindakan atau kebijakan – kebijakan dari pemerintah yang memberatkan rakyat, karena biasanya rakyat bertindak dikarenakan hal tersebut. Tidak akan ada suatu masyarakat menyerang atau menuntut ke pemerintahannya jika tidak ada hal dasar yang melatarbelakanginya.

Lalu bagaimana cara untuk menekan pelanggaran HAM yang terjadi selama ini, mungkin salah satunya dengan cara lebih mensaktikan lagi lembaga khusus Hak Asasi Manusia yang dimiliki pemerintah yaitu KOMNASHAM (Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), karena selama ini KOMNASHAM hanya dapat memegang suatu kasus pelanggaran HAM sampai batas pengaduan kasus, penyelidikan kasus, tanpa bias menghakimi siapa oknum – oknum yang terlibat dalam kasus itu, alangkah baiknya jika KOMNASHAM diberi wewenang untuk melaksanakan tindakan penghukuman atas oknum yang terlibat dalam kasus tersebut. Memang akan butuh dana, butuh tenaga ahli untuk melaksanakannya, namun bukankah rakyat Indonesia ini lebih dari cukup untuk melaksanakan tugas itu, saya yakin bahwa rakyat Indonesia mampu untuk itu. Dan memang butuh proses panjang untuk melaksanakan hal itu, butuh waktu yang mungkin lama untuk merekrut ahli – ahli hokum diseluruh Indonesia ini yang berkomitmen untuk mengamankan, mensejahterakan  dan memajukan bangsa ini dibidang Hak Asasi Manusia, butuh pejuang – pejuang HAM layaknya Moenir. Perlu adanya Moenir Moenir baru untuk bangsa kita ini. Dan sebagai mahasiswa yang dalam konotasinya adalah penyambung lidah – lidah rakyat, jangan sekali – kali mengenal kata menyerah untuk memperjuangkan Hak – hak kita dan orang – orang yang ada disekitar kita, agar kehidupan kita didunia ini lebih bermanfaat.

10. SISTEM PEMERINTAHAN DAERAH DI INDONESIA
a. SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA PASAL 18 UUD 1945

(1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang. **)
(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. **)

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum. **)

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis. **)

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat. **)

(6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan. **)

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.

b. MAKNA DAERAH YANG BERSIFAT ISTIMEWA

DAERAH ISTIMEWA
Suatu daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri seperti daerah lainnya, tetapi dengan mengingat hak asal-usul daerah itu yang bersifat istimewa. Daerah istimewa mempunyai hak asal-usul tertentu dan pada jaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa.
Makna daerah istimewa khusus untuk kepala daerah istimewa, calon yang akan diangkat ialah yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah tersebut pada jaman sebelum kemerdekaan RI dan masih menguasai daerahnya pada masa sebelum RI, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan, serta adat istiadat daerah itu.




Comments

Popular posts from this blog

kumpulan soal CAT TKD CPNS

makalah kepemimpinan nasional