lelang jabatan


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.        Latar Belakang

Lelang jabatan atau seleksi terbuka (Open bidding) sesungguhnya menuai kontroversial karena model ini ketika diadaptasikan ke Indonesia tentunya akan menuai banyak masalah karena secara kelembagaan serta historis manajemen sumber daya aparatur bertentangan konsep.
Kebijakan lelang jabatan atau seleksi terbuka (open bidding) sebenarnya merupakan kebijakan yang memiliki sisi negatif karena membuat suatu kelembagaan menjadi tidak dipercaya untuk melakukan reformasi birokrasinya dan mengembangkan sumber daya  aparaturnya.
Dalam kelembagaan pemerintahan hal ini tentunya menuai suatu pro dan kontra dengan banyak pendapat terhadap akan dilaksanakannya lelang jabatan atau seleksi terbuka (open bidding). Jika menyimak dan memperhatikan dengan seksama isi dari Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, akan ditemukan beberapa hal yang nantinya dapat menuai kontroversial. Misalnya saja pengaturan tentang Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau yang selanjutnya disingkat sebagai PPPK. Dalam Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, yang dimaksud dengan ASN meliputi Pegawai Negeri Sipil dan PPPK dimana hak yang dimiliki atau diterima oleh PPPK sama dengan hak yang diterima oleh PNS pada umumnya tetapi hanya tidak menerima tunjangan pensiun saja.
Dengan adanya ketentuan tersebut, dalam pelaksanaan lelang jabatan atau seleksi terbuka (open bidding) atau pengisian jabatan tertentu yang harusnya lansung dapat diisi oleh Pegawai Negeri Sipil, dapat pula diisi oleh PPPK yang tentunya nanti akan menuai kontroversial khususnya dikalangan Aparatur Sipil Negara.
Bukan merupakan sesuatu yang lazim jika jabatan yang harusnya lansung dapat diisi oleh Pegawai Negeri Sipil justru malah diisi oleh PPPK yang merupakan pihak swasta dan bersifat pendatang di kalangan pemerintahan walaupun sudah melalui rangkaian tes dalam seleksi perekrutannya dalam pengisian jabatan. Protes yang ditimbulkan dari kalangan Pegawai Negeri Sipil terhadap lelang jabatan atau seleksi terbuka (open bidding) diakibatkan banyaknya Pegawai Negeri Sipil yang sudah memiliki pangkat dan golongan yang tinggi serta pengalaman dan pengabdian kerja yang cukup lama tetapi masih belum memiliki jabatan. Sedangkan ketika tersedianya jabatan yang kosong yang seharusnya menjadi peluang bagi Pegawai Negeri Sipil untuk lansung menjabat justru dilelang secara terbuka secara umum.
Tidak hanya sampai disitu, jika menyimak makna dari Pasal 20 Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara menyatakan bahwa jabatan ASN tertentu dapat pula diisi oleh TNI/Polri yang justru menimbulkan polemik permasalahan. Anggota TNI/Polri yang awalnya terjun dibidang pertahanan dan keamanan Negara justru ikut terjun juga dalam kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini menimbulkan isu bahwa pemerintah mencoba membangkitkan kembali dwifungsi ABRI yang pernah diterapkan di zaman Orde Baru yang telah lama dihapuskan.
Polemik permasalahan ini semakin diperburuk dengan adanya isu politik yang dianggap ikut ambil bagian dalam pembuatan kebijakan pengelolaan dan pengembangan sumber daya aparatur di Indonesia. Fakta ini menunjukkan bahwa kepentingan politik ikut ambil bagian dengan pernyataan dan dalih bahwa banyaknya perwira menengah hingga perwira tinggi dikalangan TNI/Polri yang belum mendapatkan jabatan. Sementara itu dikalangan ASN saja masih banyak yang belum mendapatkan jabatan padahal status pangkat dan golongan sudah memenuhi target untuk mengisi jabatan. Sebenarnya hal ini dikarenakan manajemen yang masih belum baik dari pemerintah dalam upaya perekrutan TNI/Polri maupun Pegawai Negeri Sipil yang tidak memperhatikan pengembangan karir TNI/Polri  maupun ASN.
Seharusnya kebijakan kepegawaian yang memang dipegang oleh pusat hanya sifatnya kewenangan administratif saja, bukan kewenangan pelaksana kebijakan sehingga daerah diberikan keleluasan dalam mengurus pengelolaan kepegawaian tersebut. Sumber masalahnya ada pada konflik peran antara pejabat Pembina kepegawaian yaitu bupati/walikota dan gubernur dengan sekretaris daerahnya. Pemerintah pusat seharusnya  menuntaskan dulu masalah ini yang saling tumpang tindih antara pemerintah pusat dan daerah.
Dalam perencanaan perekrutan Aparatur Sipil Negara, Pemerintah pusat harus menetapkan jumlah yang real terhadap rekrutmen ASN. Hal ini dapat dilakukan dengan menetapkan jumlah penerimaan ASN yang ditetapkan secara Nasional dengan memperhatikan kebutuhan ASN yang didasarkan pada jumlah pegawai yang keluar / berhenti. Perlu juga diperhitungkan terhadap kecukupan anggaran belanja rutin untuk penggajian ASN serta dengan selalu menekan konsep bahwa organisasi yang baik adalah organisasi yang baik adalah organisasi kaya fungsi minim struktural sehingga perekrutan ASN adalah mencari orang – orang yang memiliki kemampuan teknis.
Dalam makalah ini nantinya akan membahas bagaimana arah kebijakan pengelolaan dan pengembangan sumber daya aparatur di Indonesia dengan melihat berbagai fakta yang ada. Mulai dari penerapan Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara yang belum maksimal, serta melihat perbandingannya dengan Undang – Undang Nomor 8 tahun 1974 jo. Undang – Undang 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Pegawai dan bagaimana penerapan Peraturan Pemerintah terhadap pelaksanaan Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di Indonesia.

1.2.        Tujuan
1.    Penerapan dan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN di Indonesia khususnya dalam pelaksanaan lelang jabatan atau seleksi terbuka (open bidding) dan pengelolaan sumber daya aparatur.
2.    Perbedaan Prinsip Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dengan Undang – Undang Nomor 8 tahun 1974 junto Undang – Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian.
3.    Menjelaskan bagaimana pelaksanaan peraturan pemerintah terhadap undang – undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di Indonesia.


























BAB II
TEORI DAN ATURAN
2.1. Landasan Teori
2.1.1. Manajemen Sumber Daya Aparatur / MSDM
Menurut Nasution (2000: 5) mendefinisikan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian atas tenaga kerja, pengembangan, integrasi dan pemeliharaan serta pemutusan hubungan kerja dengan sumber daya manusia untuk mencapai sasaran perorangan, organisasi dan masyarakat.
Dalam pendapat tersebut menjelaskan bahwa manajemen sumber daya manusia atau aparatur merupakan serangkaian kegiatan meliputi : (1) perencanaan, disusun secara mendetil dengan memperhitungkan segala kemungkinan yang akan terjadi dan penentuan tujuan yang pasti; (2) pengorganisasian, melakukan serangkaian koordinasi antar bagian dan antar komponen sehingga saling terhubung dalam pencapaian tujuan serta pemberian beban kerja sesuai dengan kemampuan teknis yang dimiliki aparatur; (3) pengarahan, memberikan kontrol atas setiap pelaksanaan kegiatan sehingga tetap sesuai dengan konsep tujuan yang ingin dicapai. Peranan kepemimpinan yang baik sangat dibutuhkan dalam pemberian arahan; (4) pengembangan, pemberian kesempatan dan peluang bagi aparatur dalam mengembangkan kompetensi aparatur melalui pendidikan dan pelatihan; (5) integrasi dan pemeliharaan serta pemutusan hubungan kerja, dalam upaya mencapai tujuan dan sasaran yang ingin dicapai dengan memaksimalkan integrasi dengan berbagai pihak, melakukan pemeliharaan sumber daya aparatur, serta pemutusan hubungan kerja yang dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang – undangan.
Serangkaian kegiatan tersebut dilakukan guna mencapai tujuan dan sasaran baik di lingkup perorangan dalam pencapaian target kinerja masing – masing aparatur, di lingkungan organisasi dalam pencapaian visi dan misi organisasi serta di lingkungan masyarakat dalam terwujudnya pelayanan publik yang merata.
Lebih lanjut menurut Soeprihanto (2000: 3) menjelaskan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah seni dan ilmu perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi pengadaan atau penarikan, pengembangan, pemberian kompensasi, pengintegrasian, dan pemeliharaan tenaga kerja dengan maksud membantu kearah tercapainya tujuan organisasi/perusahaan/ individu/dari para pekerja dan masyarakat.
Tidak jauh berbeda dengan yang diungkapkan oleh Nasution, menurut Soeprihanto secara garis besar juga menyebutkan bahwa manajemen Sumber Daya Manusia juga meliputi serangkaian kegiatan perencanaan, pengorganisasian, dan pengaawasan dengan maksud tercapainya tujuan baik secara individu, organisasi, maupun dalam lingkup masyarakat khususnya dalam bidang pelayanan publik.
Sedangkan menurut Boone dan Kurtz (2002: 245) menyatakan bahwa “human resources management is the organizational function of planning of human resources needs, recruitment, selection, development, compentation, and evaluation”
Artinya bahwa manajemen sumber daya manusia adalah suatu fungsi organisasi yang meliputi perencanaan kebutuhan sumber daya manusia, rekrutmen aparatur, seleksi dalam rekrutmen dan kompetensi pegawai, pengembangan aparatur berupa pemberian pendidikan dan pelatihan dalam pengembangan kompetensi, pemberian kompensasi atas pelaksanaan kinerja atau tunjangan kinerja, dan evaluasi yang dilaksanakan secara berjangka guna evaluasi terhadap kinerja aparatur dalam mengetahui hambatan dan kekurangan dalam upaya pencapaian tujuan.

2.1.2. Perencanaan Sumber Daya Aparatur / MSDM
Berbagai pandangan mengenai definisi perencanaan sumber daya manusia seperti yang dikemukakan oleh Handoko (1997, p. 53) bahwa Perencanaan sumber daya manusia atau perencanaan tenaga kerja merupakan serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengantisipasi permintaan - permintaan bisnis maupun pemerintahan dan lingkungan pada organisasi di waktu yang akan datang dan untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh kondisi-kondisi tersebut. Secara garis besar, perencanaan sumber daya manusia berarti mengestimasi dan menganalisis secara sistematik permintaan (kebutuhan) dan suplai tenaga kerja organisasi di masa yang akan datang.
Pandangan lain mengenai definisi perencanaan sumber daya manusia dikemukakan oleh Mangkunegara (2003, p. 6) bahwa Perencanaan tenaga kerja dapat diartikan sebagai suatu proses menentukan kebutuhan tenaga kerja berdasarkan perhitungan pengembangan, pengimplementasian, dan pengendalian kebutuhan tersebut yang berintegrasi dengan perencanaan organisasi agar tercipta jumlah pegawai yang sesuai kebutuhan, penempatan pegawai yang tepat dan efektif secara ekonomis.
Pandangan tersebut tentunya harus didukung dengan adanya analisis jabatan dan analisis beban kerja sehingga setiap aparatur dapat ditempatkan sesuai dengan kemampuan teknis dan jumlah perekrutan dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Hal ini bertujuan agar dalam perencanaan sumber daya manusia atau aparatur dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien serta ekonomis dalam pembiayaannya.

2.1.3. Lelang Jabatan
Lelang jabatan secara umum dapat diartikan sebagai sebuah peluang yang memungkinkan semua lapisan berada dalam sebuah titik kepemimpinan yang sama melalui seleksi terbuka serta mampu dari segi kualitas dan kuantitas. Dikarenakan sifatnya yang masih belum lazim tersebut, metode atau mekanisme pengisian jabatan secara terbuka dalam penerapannya masih menuai berbagai kontroversi atau perdebatan mengingat dasar hukum yang ada dan berlaku saat ini dinilai belum memadai untuk melaksanakan mekanisme tersebut, sehingga dikhawatirkan akan menjadi kebijakan yang “cacat hukum‟ dan cenderung bersifat mengedepankan kekuasaan sebagai kepala daerah (machtstaat) semata dan dianggap berbau politik dengan berbagai kepentingan didalamnya.
Dengan kata lain, permasalahan yang muncul akibat adanya lelang jabatan atas pelaksanaan seleksi terbuka adalah bagaimana mekanisme dan keabsahan atau legitimasi dari sistem pengisian jabatan terbuka tersebut.  Mekanisme dan keabsahan atau legitimasi dari system tersebut masih diperdebatkan dikarenakan sifat lelang jabatan yang dilakukan secara terbuka sehingga tidak hanya dari kalangan Pegawai Negeri Sipil saja yang dapat mengikuti seleksi tersebut, tetapi juga pihak swasta dapat ikut telibat juga. Perdebatan tersebut dikhawatirkan akan menjadi suatu permasalahan di kemudian hari karena ada anggapan bahwa system yang dibuat merupakan kebijakan yang dianggap terburu – buru atau lebih tepatnya seperti terpaksa untuk dibuat.
2.2. Landasan Normatif
2.2.1.   UU Nomor 8 tahun 1974 jo. UU Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian
2.2.2.   UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
2.2.3.   UU Nomor 49 tahun 2018 tentang Manajemen PPPK
2.2.4.   UU Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan








BAB III
PEMBAHASAN
3.1.        Penerapan dan Pelaksanaan Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN di Indonesia khususnya dalam pelaksanaan lelang jabatan atau seleksi terbuka (open bidding) dan pengelolaan sumber daya aparatur.
Ada dua faktor utama yang melatarbelakangi lahirnya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Pertama, ASN pada dasarnya merupakan abdi negara yang melayani kepentingan publik atau lebih tepatnya memberikan pelayanan kepada masyarakat yang dituntut bekerja secara profesional. Kedua, pasca reformasi 1998 terjadi perubahan besar dalam kultur tatakelola pemerintahan yang tidak menghendaki abdi negara menjadi alat politik atau terjadinya politik dalam birokrasi. Dengan adanya dua faktor utama tersebut, pemerintah berupaya menciptakan suatu aturan dan kebijakan terhadap Manajemen Aparatur Sipil Negara sehingga lahirlah UU Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Dengan adanya UU ASN tersebut maka seluruh PNS berubah menjadi profesi dan kepala daerah tidak lagi berhak mencampuri dan mengatur pengangkatan kepegawaian. Dengan kata lain, wewenang kepala daerah bakal dipangkas.
Dalam pembentukannya, pemerintah membutuhkan waktu sekitar 2,5 tahun untuk menyiapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Aparatur Sipil Negara. Namun, setelah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), rancangan itu akhirnya menjadi rancangan undang-undang inisiatif Dewan. RUU ini kemudian dibahas oleh Dewan dalam 84 rapat selama tiga tahun dan akhirnya disahkan pada tanggal 19 Desember 2013 dengan 19 RPP, 4 Peraturan Presiden, dan 1 Permenpan dan RB. Kemudian, pada hari Rabu, 15 Januari 2014, pemerintah mencantumkan undang-undang tersebut pada lembaran berita negara sehingga dapat diterapkan.
Keberadaan Undang - Undang ASN ini ternyata mengundang kekhawatiran para kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) dan Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi). Apkasi dan Apeksi mendukung kehadiran aparatur sipil negara yang berbasis profesionalisme dan kompetensi serta memenuhi kualifikasi dalam menduduki jabatannya. Namun Apeksi/Apkasi meminta agar yang mengatur pengangkatan pegawai ASN, wewenangnya dilaksanakan sekretaris kabupaten atau sekretaris kota.
Meski sudah dapat diterapkan, masih ada hal-hal yang krusial dan menjadi perdebatan dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 ini sebagai berikut :
1)    Pasal 6 menyebutkan bahwa ASN yang dimaksud meliputi dua hal, yaitu pegawai negeri sipil (PNS) dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang tidak memiliki nomor induk pegawai seperti PNS tetapi memiliki kompetensi, hak maupun kewajiban yang sama dengan PNS, hanya saja tidak menerima tunjangan pensiun. Dalam hal ini, PPPK sama halnya dengan tenaga Honorer, sehingga dapat dikatakan PPPK merupakan pergeseran istilah dari tenaga honorer menjadi PPPK. Hal tersebut dibantah oleh Kemenpan bahwa PPPK tidak sama dengan tenaga honorer.
2)    Pasal 21 menyebutkan bahwa PNS berhak memperoleh gaji, cuti, jaminan pensiun dan hari tua, perlindungan, dan pengembangan kompetensi sedangkan PPPK berhak memperoleh gaji, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi. Artinya bahwa PPPK berhak ikut serta dalam pelaksanaan lelang jabatan terbuka dan memiliki hak juga untuk mengisi jabatan PNS di lingkup pemerintahan.
3)    Larangan untuk berpolitik bagi PNS dan PPPK, seperti ketentuan Pasal 9 ayat 2. Aparatur Sipil Negara, menurut pasal itu, harus bebas dari semua intervensi dan pengaruh golongan atau partai politik. Sedangkan selama menjalani rutinitasnya sebagai Aparatur Sipil Negara di lingkup pemerintahan, ASN selalu dihadapkan dengan pemimpin daerah maupun pusat yang menduduki jabatan melalui jalur politik. Jika ingin membuat status ASN bebas pengaruh politik, harusnya dengan membuat kebijakan bahwa ASN sebagai pihak netral seperti yang diterapkan dikalangan TNI/Polri atau lebih tepatnya tidak ikut serta dalam kegiatan pemilu.
4)    Pasal 87 ayat 4 poin c menyebutkan dengan tegas bahwa bergabung dengan partai politik merupakan salah satu tindakan yang membuat PNS dipecat secara tidak hormat. Sedangkan netralitas merupakan salah satu asas manajemen pegawai pemerintah berdasarkan Pasal 2 undang – undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN. Poin tersebut sudah jelas tertuang dalam pasal sebelumnya tetapi diulang lagi dalam pasal setelahnya yang kesannya UU ASN ini seperti dibuat tergesa – gesa tanpa melewati pemeriksaan maupun evaluasi lebih lanjut.
5)    Pasal 88 ayat 1 poin c berbunyi PNS diberhentikan sementara apabila ditahan karena menjadi tersangka tindak pidana. Status itu bisa dipulihkan kembali oleh Pejabat Pembina Kepegawaian. Hal ini nantinya ditakutkan dapat menjadi ajang adu kepentingan dalam birokrasi pemerintahan.
6)    Wewenang Komite Aparatur Sipil Negara seperti Pasal 32 ayat 1 poin a. Seperti mengawasi setiap tahapan proses pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi mulai dari pembentukan panitia seleksi instansi, pengumuman lowongan, pelaksanaan seleksi, pengusulan nama calon, penetapan, dan pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi. Dalam hal ini, KASN berwenang memberikan masukan maupun membantah dalam hal rekrutmen hingga dengan pengisian jabatan PNS.
7)    Dalam Pasal 25 ayat (2) b menyebutkan kelembagaan dalam pengurusan ASN salah satunya adalah adanya Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Dalam hal ini terjadi pembentukan kelembagaan baru artinya dalam komisi tersebut pastinya memerlukan anggota dan adanya jabatan yang harus diisi. Hal ini bertentangan dengan Grand Design pemerintahan Indonesia yang minim struktur tetapi kaya fungsi.
8)    Dalam Pasal 20 tertuang bahwa pengisian jabatan tertentu dapat diisi oleh anggota TNI/Polri. Artinya bahwa pengisian jabatan tidak lagi sepenuhnya menjadi jabatan yang lansung dapat diisi oleh PNS saja melainkan dapat pula diiisi oleh pihak diluar birokrasi pemerintahan. Pada dasarnya, jabatan dalam birokrasi pemerintahan harusnya diisi oleh orang – orang pemerintahan yang sudah pasti mengerti tentang pemerintahan bukan dari pihak luar yang belum tentu memahami tentang penyelenggaraan pemerintahan sekalipun telah mengikuti tahapan seleksi terbuka (open bidding) dalam pengisian jabatan.
Selain hal diatas, adanya Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN ini belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dan diterapkan di Indonesia walaupun sudah ditetapkan oleh pemerintah. Hal ini terbukti dengan fakta bahwa UU ASN tersebut seperti memaksa untuk ditetapkan karena dalam pelaksanaannya justru masih mengarah dalam pengaturan UU ASN sebelumnya yaitu undang – undang nomor 8 tahun 1974 jo. Undang – undang nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian. Dalam pelaksanaan UU Nomor 5 tahun 2014 masih menggunakan Peraturan Pemerintah sebelumnya sedangkan dalam doktrin, pada prinsipnya peraturan perundang – undangan dapat dicabut oleh peraturan perundang – undangan yang sederajat atau yang lebih tinggi (Bagir Manan: 1992). Artinya bahwa dalam pelaksanaan UU nomor 5 tahun 2014, sudah tidak relevan lagi menggunakan Peraturan Pemerintah yang terdahulu dalam pelaksanaan UU ASN yang sekarang.
Lebih diperjelas lagi dengan adanya Pasal 136 UU Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN yang berbunyi :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, UndangUndang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890), dicabut dan dinyatakan tidak berlaku”.
Artinya segala ketentuan yang diatur dalam UU ASN sebelumnya termasuk segala pelaksana dari Undang – undang sebelumnya tidak berlaku lagi atau telah dicabut. Ditambah lagi dengan adanya pasal 134 yang berbunyi :

“Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”. 
Sedangkan dari tahun 2014 hingga sekarang tahun 2019, dari 19 RPP yang dbuat hanya 1 yang sudah ditetapkan yaitu tentang PPPK. Artinya dalam hal ini pelaksanaan dan penerapan UU 5 tahun 2014 tentang ASN di Indonesia masih belum maksimal dan kebijakan yang tertuang didalam tiap – tiap pasalnya masih menuai kontroversi dari berbagai pihak dan berbagai kepentingan.

3.2.        Perbedaan Prinsip Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dengan Undang – Undang Nomor 8 tahun 1974 junto Undang – Undang Nomor 43 tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian.

Setelah memperhatikan pembahasan diatas mengenai penerapan dan pelaksanaan dari Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, selanjutnya akan dibahas mengenai bagaimana perbedaan prinsip terhadap undang – undang ASN sebelumnya.

3.2.1.   perbedaan substansi antara Undang-Undang Pokok Pokok Kepegawaian dengan  Undang – Undang tentang ASN

UU nomor 43 tahun 1999 jo UU nomor 08 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian

SUBSTANSI
UU 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
Pasal 15:
1  Jumlah dan susunan pangkat Pegawai Negeri Sipil yang diperlukan ditetapkan dalam formasi
2  Formasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan  untuk jangka waktu       tertentu berdasarkan jenis, sifat, dan beban kerja yang harus dilaksanakan
Pasal 17:
Pegawai Negeri Sipil diangkat dalam jabatan dan pangkat tertentu



Berdasarkan Pangkat – Formasi Pemerintahan
Jangka Waktu Tertentu
REKRUTMEN
(Analisis Beban Kerja, Seleksi, Pengangkatan)
Pasal 49:
Setiap instansi menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PNS berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja.
Pasal 50:
Penyusunan kebutuhan jumlah dan  jenis jabatan PNS sebagaimana dimaksud pada  ayat   (1) dilakukan untuk jangka waktu 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan dan sesuai dengan siklus anggaran.
Pasal 51:
Pengadaan calon PNS merupakan kegiatan untuk mengisi jabatan yang lowong sesuai kebutuhan pegawai.
 Berdasarkan Lowongan Jabatan/Kebutuhan atas Analisis Beban Kerja
Jangka Waktu Lima Tahun
Pasal 31:
Untuk mencapai daya guna dan hasil guna yang sebesar-besarnya diadakan pengaturan  dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan jabatan Pegawai Negeri Sipil yang bertujuan     untuk meningkatkan pengabdian, mutu, keahlian, kemampuan, dan ketrampilan
Tidak Jelas disebutkan sebagai hak

PENGEMBANGAN PEGAWAI
(Diklat dan Sekolah Lanjutan)






Pasal 68A:
1  Setiap pegawai ASN berhak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri.
2  Pengembangan diri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) antara lain melalui pendidikan dan pelatihan, seminar,  kursus, workshop, dan penataran
Pengembangan diri sebagai hak pegawai ASN
Bentuk-bentuk pengembangan diri
Pasal 17 (2):
Pengangkatan PNS dalam suatu jabatan dilaksanakan berdasarkan prinsip profesionalisme sesuai dengan kompetensi, prestasi kerja, dan jenjang pangkat yang ditetapkanuntuk jabatan itu serta syarat obyektif lainnya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, atau golongan

PENEMPATAN DALAM JABATAN/ PROMOSI








Pasal 19:
Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi Utama dan Madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga non struktural, dan Pemerintah Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan PNS dengan memperhatikan  syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Pasal 20:
Untuk lebih  menjamin obyektivitas dalam mempertimbangkan pengangkatan dalam jabatan dan kenaikan pangkat diadakan penilaian prestasi kerja
Pasal 22:
Untuk kepentingan pelaksanaan tugas kedinasan dan dalam rangka pembinaan PNS dapat diadakan perpindahan jabatan, tugas, dan/atau  wilayah kerja
Basis Karir Tertutup
Pasal 64:
Pengangkatan dan penetapan PNS dalam jabatan tertentu sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) ditentukan berdasarkan          perbandingan obyektif antara kompetensi,      kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh pegawai.


•  Basis Karir Terbuka (Kompetisi)
Pasal 7:
1  Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggungjawabnya
2  Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.
Pasal 32:
1  Untuk meningkatkan kegairahan bekerja, diselenggarakan usaha kesejahteraan Pegawai Negeri Sipil.
2 Usaha kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), meliputi program pensiun dan tabungan hari tua, asuransi kesehatan, tabungan perumahan, dan asuransi pendidikan bagi putra-putri Pegawai Negeri Sipil.
3  Untuk penyelenggaraan  usaha  kesejahteraan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri  Sipil  wajib  membayar iuran setiap bulan dari penghasilannya.
4  Untuk penyelenggaraan program pensiun dan penyelenggaraan asuransi kesehatan, Pemerintah menanggung subsidi dan iuran.
5  Besarnya subsidi dan iuran sebagaimana dimaksud  dalam  ayat  (4),  ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
6  Pegawai Negeri Sipil yang meninggal dunia, keluarganya berhak memperoleh bantuan
  Beban Kerja & Tanggung Jawab

KOMPENSASI/ KESEJAHTERAAN
Pasal 20:
Pegawai Negeri Sipil berhak memperoleh:
a  gaji, tunjangan, dan kesejahteraan yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan    dan tanggung jawabnya;
b  cuti
c  pengembangan kompetensi;
d  biaya perawatan;
e  tunjangan bagi yang menderita cacat jasmani atau cacat rohani dalam dan sebagai akibat menjalankan tugas kewajibannya yang mengakibatkan tidak dapat bekerja lagi dalam jabatan apapun;
f  uang duka; dan
g  pensiun  bagi yang telah mengabdi kepada Negara dan memenuhi  persyaratan yang ditentukan;
h  hak-hak lainnya yang diatur dalam peraturan pemerintah
Pasal 75:
Pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PNS serta menjamin kesejahteraan PNS

Pasal 76
Selain gaji sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75, PNS juga menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Beban Kerja, Tangung Jawab,
ResikoPekerjaan & Kinerja
Pasal 12:
1 Manajemen PNS diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdayaguna dan berhasil guna.
2  Untuk mewujudkan penyelenggaraan tugas pemerintah dan pembangunan          sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diperlukan PNS yang profesional, bertanggung jawab, jujur, dan adil melalui pembinaan  yang dilaksanakan berdasarkan sistem  prestasi  kerja  dan  sistem karier yang dititikberatkan pada sistem prestasi kerja
   Position Based Salary
   Career Based System

MANAJEMEN KINERJA
Pasal 73:
1  Penilaian kinerja PNS  berada dibawah kewenangan Pejabat yang Berwenang pada Instansi masing-masing.
2  Penilaian kinerja PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didelegasikan secara berjenjang kepada atasan langsung dari PNS.
3  Pendapat rekan kerja setingkat dan bawahannya dapat  juga dijadikan sebagai bahan pertimbangan penilaian kinerja PNS Penilaian kinerja PNS dilakukan berdasarkan perencanaan  kinerja      pada tingkat individu dan tingkat unit/organisasi, dengan  memperhatikan target, sasaran, hasil dan manfaat yang dicapai.
4  Penilaian kinerja PNS dilakukan secara objektif, terukur, akuntabel, partisipasi, dan transparan.
5  Hasil penilaian kinerja PNS disampaikan kepada Tim Penilai Kinerja PNS.
6  Hasil penilaian kinerja PNS dimanfaatkan untuk menjamin objektivitas dalam pengembangan PNS, dan dijadikan sebagai persyaratan dalam pengangkatan jabatan dan kenaikan pangkat, pemberian tunjangan dan  sanksi,  mutasi, dan promosi, serta untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan.
7  PNS yang penilaian kinerjanya dalam waktu 3 (tiga) tahun berturut-turut tidak mencapai target kinerja dikenakan sanksi.
   Position and Performance Based Salary/Promotion
  Sanksi atas tidak tercapainya kinerja
Pasal  30:
1. Pembinaan jiwa korps, kode etik, dan peraturan disiplin Pegawai Negeri Sipil tidak boleh bertentangan  dengan Pasal  27  ayat  (1)  dan Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945.

PENEGAKAN DISIPLIN DAN ETIKA
Pasal 83:
 PNS yang melanggar disiplin dikenakan sanksi administratif.
2  Pembinaan jiwa korps, kode etik, dan peraturan disiplin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
  Ketentuan bersifat umum atas kode etik & disiplin


  Rincian Kode etik profesi
  Rincian Sanksi
Pasal 10:
Setiap Pegawai Negeri yang  telah  memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, berhak atas pensiun

Pay As You Go
(Pembayaran setelah Pensiun)

PENSIUN
Pasal 86:
1. Jaminan Pensiun PNS dan Jaminan Janda/Duda PNS dan Jaminan Hari Tua PNS diberikan sebagai perlindungan kesinambunganpenghasilan hari tua, sebagai hak dan sebagai penghargaan atas pengabdian PNS.
2  Jaminan Pensiun dan Jaminan Hari Tua PNS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup jaminan pensiun dan jaminan hari tua yang diberikan dalam rangka program jaminan sosial nasional.
3  Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku setelah Undang-undang tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial berlaku efektif.
4  Sebelum ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) berlaku maka ketentuan mengenai Pensiun  dan  Tabungan Hari  Tua dilaksanakan  sesuai  peraturan  perundang- undangan yang mengatur tentang Pensiun dan Tabungan Hari Tua.
 Fully Funded



3.2.2.   Analisis Isi Pokok UU No. 5 Tahun 2014 Tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) dengan UU Pokok – Pokok Kepegwaian

3.2.2.1. Dari Aspek Filosofi
UU 8/1974
UU 43/1999
UU 5/2014 tentang ASN
PN sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat
PN sebagai abdi masyarakat yang menyelenggarakan pelayanan secara adil dan merata
Pembangunan ASN yang profesional, netral dan bebas dari intervensi politik, bersih dari praktik KKN serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik bagi masyarakat dan mampu menjalankan peran sebagai unsur perekat persatuan dan kesatuan bangsa
Membangun PN yang bersatu padu, bermental baik, berwibawa, berdaya guna, bersih, bermutu tinggi, dan sadar akan tanggungjawabnya.
Membangun PN yang profesional dan bertanggung jawab serta bebas KKN.

Menurut Bekke, Perry and Toonen dalam bukunya : “Civil Service Systems in Comparative Perspective (Indiana University Press) (1996 : 71 – 88)”, ada lima tahap pengembangan peran PNS yaitu sebagai berikut :
a.    Tahap Pertama   : PNS sebagai  Pelayan Perseorangan;
b.    Tahap Kedua      : PNS sebagai Pelayan Negara/Pemerintah;
c.    Tahap Ketiga      : PNS sebagai Pelayan Masyarakat;
d.    Tahap Keempat  : PNS sebagai Pelayanan yg Dilindungi;
e.    Tahap Kelima     : PNS sebagai Pelayanan Profesional.

Untuk masuk ke tahap kelima perlu dibangun organisasi fungsional yang didukung oleh orang-orang yg memiliki kompetensi dan profesional dalam bidang tugasnya masing-masing. Arah pengembangan kariernya bukan melebar menjadi generalis, melainkan menukik ke dalam menjadi spesialis.
PNS di Indonesia masuk ke tipe keempat yakni pelayanan yang dilindungi. Hal ini nampak dalam UU Nomor 8 Tahun 1974 jo UU Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian yang masih menggunakan prinsip : tertutup dalam arti negara, artinya jabatan-jabatan pegawai negeri yang ada di dalam tubuh birokrasi hanya dapat diisi oleh mereka yang sudah ada di dalam organisasi pemerintah.
Untuk menuju tipe PNS profesional, perlu dipikirkan kemungkinan penggunaan prinsip terbuka di dalam pengisian jabatan-jabatan yang berkaitan dengan kepentingan publik, sehingga terjadi kompetisi untuk memperoleh pejabat yang memiliki kompetensi.
Dalam mencapai PNS yang professional, prinsip lelang terbuka tentunya menjadi hal positif dalam mencari kompetensi dari berbagai pihak. Tetapi dilain hal, prinsip tersebut ditentang oleh berbagai kalangan khususnya PNS itu sendiri, karena ditakutkan dengan adanya seleksi terbuka membuat pola karir pegawai menjadi terhambat. Sedangkan faktanya masih banyak PNS yang sudah mendapat pangkat cukup tinggi dan sudah mengantri untuk suatu jabatan tetapi belum mendapat jabatan dalam pemerintahan.

Seharusnya dalam hal pengisian jabatan, diutamakan terlebih dahulu PNS yang telah memiliki pangkat serta pengalaman maupun kompetensi yang baik untuk menduduki jabatan dan jika memang tidak memenuhi atau belum memenuhi syarat, barulah dicari orang – orang yang akan mengisi jabatan melalui seleksi terbuka. Hal ini dikarenakan bahwa tidak semua orang yang berasal dari luar pemerintahan sudah sangat memahami tentang pemerintahan dibandingkan seorang PNS yang sudah lama mengabdikan diri di bidang pemerintahan dan pastinya sudah lebih berpengalaman.


3.2.2.2. Aspek Paradigma Pola Pengembangan Karier
UU 8/1974
UU 43/1999
UU 5/ 2014 tentang ASN
Perpaduan sistem karier dan sistem prestasi kerja, dengan menggunakan pola karier tertutup dalam arti negara, yang memungkin- kan perpindahan PN dari satu departemen ke departemen lain, satu provinsi ke provinsi lain, tetapi menutup dari Non PN menduduki jabatan negeri.
Sama dengan paradigma yang digunakan oleh UU Nomor 8 Tahun 1974, tetapi kemudian mengalami distorsi karena adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 yang mempersempit pengertian tertutup dalam arti negara menjadi tertutup dalam daerah otonom bersangkutan.
Pola karier terbuka secara penuh, khususnya pada jabatan eksekutif senior meliputi pejabat struktural tertinggi, staf ahli, analisis kebijakan pada instansi pusat dan provinsi, dan pejabat eselon II.a di instansi pusat, provinsi dan kabupaten/kota, dapat berasal dari PNS dan Non PNS.

Pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999 telah mengubah sistem kepegawaian negara yang semula menggunakan Integrated system menjadi separated system. Integrated system biasanya digunakan di negara unitaris yang menempatkan semua Pegawai Negeri sebagai aparatur negara yang dibiayai oleh negara dan ditempatkan di seluruh wilayah negara. Sedangkan separated system lebih banyak digunakan di negara federal, karena masing-masing negara bagian atau provinsi memiliki sistem kepegawaiannya sendiri.
Sistem kepegawaian yang terpisah pada masa UU Nomor 22 Tahun 1999 mengalami kegagalan karena banyak daerah hanya bernafsu mengangkat pegawai sendiri tetapi tidak mampu membiayainya. Kemudian digunakan pendekatan eklektif yang dinamakan Mixed system, yakni perpaduan antara integrated system dengan separated system.
Sedangkan pada masa UU Nomor 32 Tahun 2004 menggunakan pola pengembangan karier tertutup dalam arti negara, serta masih merujuk pada pola pengembangan karier yang digunakan pada UU Nomor 8 Tahun 1974 (lihat Penjelasan Pasal 12 ayat 2 UU Nomor 8 Tahun 1974).
Pengembangan karir PNS mengacu pada UU No.5/2014 adalah dengan “sistem merit” yaitu berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, ataupun kondisi kecacatan.







3.2.2.3. Jenis Kepegawaian
UU 8/1974
UU 43/1999
UU ASN
Pegawai Negeri terdiri dari :
  1. PNS
  2. Anggota ABRI
PNS terdiri dari
  1. PNS Pusat
  2. PNS Daerah
  3. PNS lain yang ditetapkan dengan PP.
(Pasal 2 ayat 1 dan 2).
Pegawai Negeri terdiri dari :
  1. PNS
  2. Anggota TNI
  3. Anggota Kepolisian Negara RI
PNS terdiri dari
  1. PNS Pusat
  2. PNS Daerah
Pegawai tidak tetap.
 (Pasal 2 ayat 1,2,3)
Pegawai ASN terdiri dari :
  1. PNS RI;
  2. Pegawai Pemerintah Nonpermanen.
(Pasal 6)
Pegawai ASN yang bekerja pada Instansi merupakan satu kesatuan ASN.

Dari tabel diatas kita bisa melihat bahwa PNS pengelolaannya bersifat nasional artinya tidak ada lagi PNS dengan status pegawai pusat dan pegawai daerah. Pegawai ASN akan secara  professional dikelola oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) sehingga diharapkan pengelolaannya akan lebih professional dan independen.





3.2.2.4. Jenis Jabatan
UU 8/1974
UU 43/1999
UU ASN
Dibedakan antara jabatan negeri yang diduduki oleh pejabat negeri dengan jabatan negara yang dipegang oleh pejabat negara.
Tidak ada rincian jenis jabatan, karena diatur lebih lanjut melalui PP.
Jenis jabatan tidak diatur secara rinci dalam UU, tetapi di dalam PP.
Jabatan ASN terdiri dari
  1. Jabatan Administrasi;
  2. Jabatan Fungsional
  3. Jabatan Eksekutif Senior. (Psl 15).
Jabatan Administrasi terdiri dari :
  1. Jabatan pelaksana;
  2. Jabatan pengawasan;
  3. Jabatan administrator.

Dalam UU sebelumnya kita tidak melihat adanya jenis jabatan yang disebutkan secara spesifik, akan tetapi dalam UU No.5/2014 ASN ini kita bisa melihat bahwa jabatan ASN terdiri dari Jabatan Administrator, Jabatan Fungsional dan Jabatan Eksekutif. Dalam UU ini kita bisa melihat dengan jelas tiga macam tingkatan jenis jabatan. Tetapi dalam tiga macam tingkatan jenis jabatan tersebut belum menjelaskan secara detil bagaimana pengaturannya dikarenakan hingga sekarang belum ada peraturan pemerintah yang sah terhadap pelaksanaannya.




3.3.        Menjelaskan bagaimana pelaksanaan Peraturan Pemerintah terhadap Penerapan Undang – Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di Indonesia.
Ketika Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN di tetapkan, telah dirancang 19 Rancangan Peraturan Pemerintah yang nantinya akan menjadi dasar pelaksanaan dari Undang – undang ASN tersebut. Tetapi Faktanya hingga sekarang hanya 1 dari 19 RPP yang dibuat berhasil ditetapkan yaitu Peraturan Pemerintah tentang Manajemen Pegwai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PP Nomor 49 tahun 2018). Padahal sudah hampir 5 (lima) tahun berlalu sejak ditetapkannya UU ASN tersebut tetapi belum sepenuhnya dapat dilaksanakan dengan baik.
Berdasarkan Pasal 134 UU 5/2014 tentang ASN yang berbunyi :
“Peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”.
Seharusnya dalam jangka waktu 2 tahun peraturan pelaksanaan dari UU 5/2014 sudah dapat ditetapkan dan diterapkan di Indonesia. Tetapi pada kenyataan pemerintah justru masih senang menggunakan peraturan pelaksana sebelumnya yang notabenenya tidak seluruhnya relevan lagi dengan UU ASN yang sekarang.
Jika mengutip Pasal 139 UU 5/2014 tentang ASN yang berbunyi :
“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik lndonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik lndonesia Nomor 3890) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan Undang Undang ini”.
Dikatakan bahwa peraturan pelaksana sebelumnya masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti. Pada dasarnya dengan memperhatikan penjelasan sebelumnya tentang UU ASN yang sekarang dan yang sebelumnya banyak sekali perubahan yang terjadi sehingga tidak sepenuhnya peraturan pelaksana pada UU ASN sebelumnya dapat diterapkan lagi pada UU ASN yang sekarang. Hal ini saja bisa terlihat dari system pengisian jabatan dengan cara lelang jabatan melalui seleksi terbuka. System tersebut tentunya telah menggeser  system pola karir tertutup yang diterapkan pada UU ASN sebelumnya menjadi pola karir terbuka yang diterapkan pada UU ASN yang sekarang.














BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Kebijakan dan pengelolaan sumber daya aparatur di Indonesia belum dapat mengarah pada suatu titik terang. Setelah melihat pembahasan diatas, UU ASN yang sekarang masih terbilang sebagai suatu kebijakan yang menuai polemic dari berbagai kalangan. Jika diperhatikan dengan seksama sejak dibentuknya UU 5/2014 hingga sekarang, dari 19 RPP yang dirancang hanya 1 RPP yang berhasil ditetapkan. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan dari UU 5/2014 tentang ASN belum maksimal.
Selain itu, pada UU 5/2014 tentang ASN menggunakan system seleksi terbuka dalam pengisian jabatannya yang artinya semua orang bisa mengisi jabatan. Hal ini memang dianggap baik karena Pengembangan karir PNS pada UU No.5/2014 dengan menggunakan “sistem merit” yaitu berdasarkan pada kualifikasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang politik, ras, warna kulit, agama, asal usul, jenis kelamin, status pernikahan, umur, ataupun kondisi kecacatan. Karena rekrutmen yang berhasil adalah rekrutmen yang dilakukan melalui sistem merit (Khotimah dkk, 2013). Dalam kebijakan dan manajemen ASN, sistem merit ini mempunyai ciri:
1)    Seleksi dan promosi secara adil dan kompetitif,
2)    Menerapkan prinsip fairness,
3)    Penggajian, reward and punishment berbasis kinerja,
4)    Standar integritas dan perilaku untuk kepentingan publik,
5)    Manajemen SDM secara efektif dan efisien,
6)    Melindungi pegawai dari intervensi politik & tindakan semena-mena.
Hal ini tentunya bagus jika diterapkan secara maksimal, tetapi yang menjadi permasalahan adalah system seleksi terbuka membuat pihak luar pemerintahan juga dapat ikut serta untuk mengisi jabatan dalam pemerintahan ditambah lagi adanya Pasal 20 yang menyatakan bahwa anggota TNI/Polri dapat juga mengisi jabatan tertentu. Kualitas dan Kompetensi memang dibutuhkan dalam penyelenggaraan Pemerintahan, tetapi perlu diingat bahwa pengalaman dan masa kerja juga menjadi perhitungan khususnya pengalaman dibidang pemerintahan.
Seharusnya pengisian dapat dilaksanakan dengan melihat Daftar Urut Kepangkatan (DUK) dan dengan dilakukannya seleksi secara tertutup terlebih dahulu dilingkungan Pegawai yang memiliki pangkat dan syarat yang sesuai dengan jabatan yang akan diisi. Tidak perlu lansung melaksanakan lelang jabatan dengan system seleksi terbuka terlebih dahulu dalam mengisi jabatan karena potensi dari dalam lingkup pegawai sendiri perlu digali terlebih dahulu. Ditambah lagi pengalaman yang menjajikan dari pegawai yang sudah lama mengabdikan diri juga menjadi penilaian. Lelang jabatan dilaksanakan terbuka jika memang pada saat itu tidak ditemukan kompetensi yang sesuai dan memenuhi syarat dari pihak pegawai barulah dicari dari pihak luar (swasta) untuk mengisi jabatan.


















DAFTAR PUSTAKA
-       Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
-       Undang – Undang Nomor 8 Tahun 1974 junto Undang – Undang 43 Tahun 1999 tentang Pokok – Pokok Kepegawaian
-       Peraturan Pemerintah Nomor 49 Tahun 2018 tentang Manajamen PPPK
-       Undang – Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan
-       http://menpan.go.id/jdih/permen-kepmen/lainnya/file/3975-20131017-ruuasn
-       https://news.detik.com/kolom/d-2460743/urgensi-undang-undang-aparat-sipil-negara
-       Bahan Kuliah Prof Sadu Wasistiono, Analisis Kesenjangan (Gap Analysis) Ruu Aparatur Sipil Negara (ASN) Dengan UU Nom
-       Khotimah, or 43 Tahun 1999 Dan RUU Revisi UU Nomor 32 Tahun 2004. Khusnul, Purwoko, dan Setiyono, Budi. 2013. Evaluasi Pola Rekrutmen Pegawai Negeri Kabupaten Kudus 2010. Jurnal Ilmu Pemerintahan Fisip Undip No. 2 Vol. 3. Hal. 376-385.
-       Bagir Manan, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hill.co, Jakarta, 1992.

Comments

Popular posts from this blog

hukum tata usaha negara : Ilmu, Lingkup dan Kajian

kumpulan soal CAT TKD CPNS

makalah kepemimpinan nasional